BAB 1
KONSEP
ADMINISTRASI PENDIDIKAN
A. Pengertian
Administrasi
Kata
administrasi menurut Daryanto ( 2011 : 1 ) berasal dari bahasa latin
“ad” dan “ministro”. Ad mempunyai arti “kepada” dan ministro berarti
“melayani”. Secara bebas dapat diartikan bahwa administrasi merupakan pelayanan
dan pengabdian terhadap subjek tertentu.
Selanjutnya
untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian administrasi,
berikut beberapa pengertian administrasi menurut para ahli :
1) Daryanto
( 2011 : 7 ) : adalah aktivitas-aktivitas untuk mencapai suatu tujuan,
atau proses penyelenggaraan kerja untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan.
2) Trisna
( dalam Daryanto, 2011 : 7) : adalah keseluruhan proses penyelenggaraan dalam
usaha kerja sama dua orang atau lebih dengan secara rasional untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya secara efisien.
3) Ngalim
Purwanto ( 2010 : 1 ) : adalah suatu kegiatan atau usaha untuk membantu ,
melayani, mengarahkan, atau mengatur semua kegiatan di dalam mencapai suatu
tujuan.
4) Syaiful
Sagala ( 2009 : 26 ) : adalah rangkaian kegiatan bersama sekelompok manusia
seacara sistematis untuk menjalankan roda suatu usaha atau misi organisasi agar
dapat terlaksana, suatu usaha dengan suatu tujuan tertentu yang telah
ditetapkan.
Berdasarkan
pengertian administrasi tersebut, maka dalam setiap kegiatan
administrasi terdapat beberapa unsur yang selalu kait-mengait satu sama lain.
Unsur pokok di dalam administrasi yang dimaksud adalah :
Ø Adanya
sekelompok manusia yang tergabung dalam satu organisasi
Ø Proses
yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan
Ø Adanya
sumber daya dan sumber dana
Ø Rangkaian
kegiatan atau adanya proses
Ø Proses
dilakukan secara efektif dan efisien
Dengan
mengemukakan unsur-unsur tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian administrasi adalah suatu proses kerja sama antara orang-orang
dengan menggunakan sumber dana dan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
B. Pengertian
Pendidikan
Pendidikan
diartikan oleh beberapa tokoh pendidikan sebagai berikut :
1) Suparlan
Suhartono ( 2009 : 80 ) : merupakan system proses perubahan menuju pendewasaan,
pencerdasan, dan pematangan diri.
2) Chalijah
Hasan ( 1989 : 19 ) : adalah bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada anak
dalam pertumbuhan jasmani dan rohaninya untuk mencapai tingkat dewasa.
3) Ahmad
D Marimba ( 1989 : 19 ) adalah bimbingan dan pimpinan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.
4) Abdurrahman
An-Nahlawi ( dalam Daryanto, 2011 : 5 ) adalah proses yang mempunyai tujuan
sasaran dan objek.
Dari
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pendidikan merupakan :
· Suatu
usaha pembentukan kepribadian dan kemampuan anak dalam menuju kedewasaan
· Suatu
bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya
· Suatu
usaha dalam mencapai tujuan
C. Pengertian Administrasi Pendidikan
C. Pengertian Administrasi Pendidikan
Untuk
memperluas pemahaman tentang pengertian administrasi pendidikan berikut ini
dikemukakan beberapa batasan atau definisi yaitu :
1) Ngalim
Purwanto ( 2010 : 4 ) : Administrasi pendidikan adalah segenap proses
pengerahan dan pengintegrasian segala sesutu, baik personal, spiritual maupun
material, yang bersangkut paut dengan pencapaian tujuan pendidikan.
2) Daryanto
( 2011 : 12 ) : Administrasi pendidikan adalah tindakan
mengkoordinasikan perilaku manusia dalam pendidikan agar sumber daya yang ada
dapat ditata sebaik mungkin sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara
produktif.
3) Syaiful
Sagala ( 2009 : 39 ) : Administrasi pendidikan adalah suatu proses atau
peristiwa mengkoordinasikan sejumlah kegiatan yang saling bergantung dari
orang-orang dan kelompok-kelompok baik kegiatan yang berada pada pemerintahan
maupun satuan pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan.
4) Dadang
Suhardan ( 2010 : 30 ) : Administrasi pendidikan adalah disiplin ilmu yang
mempelajari usaha kerja sama dengan melibatkan segenap sumber daya yang ada
untuk mengembangkan potensi peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan
secara efektif dan efisien.
5) Djam’an
Satori ( dalam Uhar Suharsaputra, 2010 : 12 ) : administrasi pendidikan dapat
diartikan sebagai keseluruhan proses kerja sama dengan memanfaatkan semua
sumber personil dan materil yang tersedia dan sesuai untuk mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
Dengan
memperhatikan berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa administrasi
pendidikan adalah suatu proses kerja sama oleh sejumlah orang yang memanfaatkan
semua sumber dan fasilitas yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan secara efektif dan efisien.
BAB II
SEKOLAH
SEBAGAI ORGANISASI PENDIDIKAN
Sekolah
sebagai organisasi pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam
mengembangkan potensi peserta didik, sebagaimana definisi pendidikan yang
termuat dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, bahwa pendidikan
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif dan mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekutn spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.
Dari definisi
pendidikan tersebut, dapat diambil benang merah, bahwa esensinya pendidikan
mengarah pada “penciptaan suasana belajar yang efektif” dan proses
“pembelajaran yang interaktif”. Dalam hal ini, proses pembelajaran yang
dilakukan merupakan aspek utama organisasi sekolah, karena dalam proes
pembelajaran terjadi proes perubahan kemampuan peserta didik sebagai evaluasi
dari sistem pendidikan yang dilakukan di sekolah.
Sekolah
sebagai organisasi dengan sistem terbuka, senantiasa mampu beradaptasi dan peka
terhadap perubahan atau perkembangan yang terjadi. Setiap aktivitas yang ada di
sekolah, harus mengarah pada proses pembelajaran, karena hakikatnya sekolah
merupakan organisasi pembelajar (learning organization).
Menurut Sange
(1994), organisasai pembelajar adalah organisasi tempat dimana
anggota-anggotanya secara terus menerus meningkatkan kapasitasnya untuk
menciptakan pola berfikir baru dengan membiarkan berkembangnya aspirasi kreatif
dan tempat orang terus menerus berupaya belajar bersama. Selain itu,
menurut Garvin (1993 : 78-91), organisasi pembelajar adalah organisais yang
senantiasa berusaha, menciptakan, mencari, dan mentransfer pengetahuan serta
memodifikasi perilakunya berdasarkan pengetahuan dan wawasan baru tersebut.
organisasi belajjar tidak hanya menghasilkan cara berfikir, tapi juga
menerapkan pengetahuan baru di dalam mengerjakan pekerjaan. Dixon (1998),
mengemukakan bahwa organisasi pembelajar adalah organisasi tempat dimana
terdapat kebiaaan belajar, baik pada tingkat individu, kelompok, atau sistem
secara keseluruhan untuk mengadakan transformasi secara terus menerus dengan
tujuan untuk memuaskan stakeholders.
Dari definisi
menurut para ahli di atas, sekolah yang menerapkan dirinya sebagai orgnisasi
pembelajar merupakan sekolah yang menerapkan secara efektif esensi atu makna
pendidikan, dimana pada esensinya makna pendidikan mengarh pad pembelajaran
yang menyangkut :
1) learning
to know (berorientasi pada pengembangan atau perluasana pengetahuan
individu)
2) learning
to do (berorientasi pada skill atau keterampilan individu)
3) learning
to be (berorientasi pada tanggung jawab diri, nilai, dimana seseorang mampu
bertindak sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang ia miliki secara
bertanggung jawab, sehingga mulai terbentuk kepribadian yang baik)
4) learning
to live together in peace and harmony (tahap ini merupakan keseluruhan
dari proses pembelajaran yang efektif, dimana seseorang mampu beradaptasi dan
hidup bersama secara damai dalam lingkup masyarakat luas.
Sekolah
sebagai organisais pembelajaran akan selalu bersikap terbuka untuk belajar,
sehingga keterlibatn seluruh personil sekolah sangat dominan untuk menciptakan
efektivita sekolah. Ada beberapa dimensi organisasi pembelajaran (learning
organization) yang dikemukakan oleh Aan Komariah dan Cepi Triatna (2008 :
59-64), diantaranya :
a) Transfering
knowledge, yaitu berorientasi pada terjadinya transformasi ilmu pengetahuan.
Dalam implementasinya terhadap pembelajaran di sekolah, dimensi ini terletak
pada pembelajaran yang bersifat student oriented (menyangkut
kebutuhan belajar peserta didik, perbedaan individual, dan kepribadian peserta
didik) dan content oriented (hal ini berhubungan dengan materi dan metode
pembelajaran yang disampaikan oleh guru).
b) Opennes,
yaitu keterbukaan sistem dalam menerima pengetahuan atau pengalmn dari berbagai
pihak, baik yang bersift kritik, saran, pendapat, mupun lainnya. Sikap terbuka,
akn membut organisasi semakin mudah untuk berkembang dan jauh dari sifat
entropy, hl ini dikarenakan sekolah tanggap dan tangguh menerima berbagai
kondisi atu situasi, baik secara internal maupun eksternal.
c) System
Thinking, yaitu kemampuan berfikir secara sistematis mencakup makna kemampuan
untuk selallu berfikir dan bertindak dengan pendekatan yang menyeluruh, serta
mampu menimbang segala unsur yang berkaitan.
d) Team
Leraning, adalah kemampuan dan kemauan belajar dan bekerja sama dalam tim.
Dimesi ini mengarah pada pembentukan kekuatan dan kapasitas tim, baik dari segi
semangat, komitmen, kecerdasan, sehingga akan mempermudah dalam bertukar
pikiran, dan hal ini akan lebih efektif dibandingkan kemampuan belajar
individu.
e) Creativity.
Supriyadi (1994 : 7), mendefiniskan kreatif sebagai kemampuan seseorang
menlahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang
relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Dari definisi tersebut,
kreatif identif dengan berfikir kreatif, berusaha melahirkan feature atau
keistimewaan dan keunggulan dari setiap gagasan atau ide nya. pembelajaran yang
bersifat kreatif akan menghasilkan sesuatu yang bermutu dan berjalan secara
terus menerus, karena hakikatnya sesuatu yang bermutu itu tidak akan selesai
atau bersifat dinamis tidak statis.
f) Emphaty,
merupakan sifat yang penuh dengan kepedulian dan respon terhadap berbagai
kedaan. Sifat emphty yang diterapkn di sekolah akan menghasilkan suasabna atau
iklim belajar yang menyenangkan, karena menghasilkan komunikasi yang efektif
antar warga sekolah maupun stakeholder.
g) Personil
Maturity, berhubungan dengan kemapanan SDM yang ada dalam organisasi
sekolah. Kedewasaan atau kematangan personil sekolah akan mempurmudah kepala
sekolah kaupun guru dalam menempatkan atau memposisikan tugas untuk etiap
personil sekolah termasuk peserta didik. Kematangan menunjukkan daya kemampuan
dan kemauan seseorang untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini,
jelas sangat penting dalam sebuah organisasi.
Selain
dimensi-dimensi di atas, Aan Komariah dan Cepi triatna (2008 : 65),
mengemukakan karakteristik organisasi pembelajar sebagai berikut :
a) Organisasi
pembelajar memiliki budaya dan seperangkat nilai yang mendorong belajar, dengan
indikator yang tampak adalah keterbukaan pada pengalaman, tidak menghindar dari
kesulitan, dan kemauan untuk menelaah kegagalan dan mau belajar darinya.
b) Strategi
organisasi menyatakan bahwa belajar merupakan sumber keunggulan strategi yang
mantap.
c) Organisais
belajar memiliki struktur organisasi yang permeable, flexible, and network
intimacy.
d) Sistem
organisasi dalam organisasi pembelajar sangat akurat, tepat waktu, dan tersedia
untuk siapa pun yang membutuhkan dan dalam bentuk yang mudah dipergunakan. Hal
ini menandakan bahwa sekolah sebagai organisasi pembelajar memiliki manajemen
sistem informasi yang baik dan efektif.
e) Organisasi
pembelajar menyeleksi orang tidak berdasarkan apa-apa yang diketahu, tetapi
berdasarkan kemampuannya belajar dan menyesuaikan tindakannya berdasarkan hasil
belajar
f) Organisais
pembelajar belajar dari orang lain
g) Pemimpin
organisasi pembelajar adalah pembelajar
Namun, dalam
prakteknya tidak semua sekolah menerapkan learning organization ini.
masih banyak sekolah-sekolah yang belum menerapkan pembelajaran yang mengarah
pada student oriented maupun content oriented. Hal ini dapat
terlihat, dari banyaknya guru yang belum profesional dalam melakukan
pembelajaran di kelas, serta manajemen sekolah yang belum efektif. Dalam hal
ini, kepala sekolah sebagai pemimpin harus mampu mengarahkan semua personil
sekolah dalam mengakomodir kebutuhan warga sekolah untuk mau belajar guna
meningkatkan kemampuannya.
BAB III
IKLIM DAN
BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH
A.
IKLIM ORGANISASI
Taguiri
dan Litwin dalam Soetopo (2010) mengartikan iklim organisasi adalah suatu
kualitas lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggotanya,
mempengaruhi prilakunya dan dapat dideskripsikan dengan nilai-nilai
karakteristik organisasi. Dengan penegrtian ini, Miner (1998) menyarikan
aspek-aspek definisi iklim organisasi sebagai berikut :
a) Iklim
organisasi berkaitan dengan unit yang besar yang mengandung cirri karakteristik
tertentu.
b) Iklim
organisasi lebih mendiskripsikan suatu unit organisasi daripada menilainya.
c) Iklim
organisasi berasal dari praktik organisasi, dan
d) Iklim
organiasasi mempengaruhi prilaku dan sikap aggota organisasi.
Dalam kaitannya dengan iklim organisasi, Steers dalam Soetopo (2010) menyatakan
bahwa iklim organisasi dapat dilihat dari dua sisi pandang yaitu (1) iklim
organisasi dilihat dari persepsi para anggota terhadap organisasinya, (2) iklim
organisasi dilihat dari hubungan antara kegiatan-kegiatan organisasi dan
perilaku manajemennya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Halpin (1971) yang
menggunakan Organizational Climate Description Quesionare (OCDC),
terdapat enam klasifikasi iklim organiasi yaitu :
1) Open
Climate yang menggambarkan tentang situasi dimana anggota organisasi
merasa senang untuk bekerja, saling kerjasama serta adanya keterbukaan.
2) Outonomous
Climate yaitu situasi dimana adanya kebebasan, adanya peluang kreatif,
sehingga para anggota memiliki peluang untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan
mereka.
3) The
Controlled Climate yang ditandai adanya penekanan atas prestasi dalam
mewujudkan kepuasan kebutuhan social, setiap orang bekerja keras serta
kurangnya hubungan antar sesama anggota
4) The
Familiar Climate yaitu adanya rasa kesejawatan tinggi antara pimpinan dan
anggota
5) The
Paternal Climate yang bercirikan adanya pengontrolan pimpinan terhadap
anggota, dan
6) The
Closed Climate yang ditandai suatu situasi rendahnya kepuasan dan prestasi
tugas serta kebutuhan social para anggota, pimpinan sangat tertutup terhadap
para anggotanya.
Dari keenam klasifikasi iklim organisasi berdasarkan OCDC tersebut, Halpin
kemudian mengelompokkan iklim organiasasi secara garis besar menjadi dua
yaitu open climate dan closed climate.
Halpin
sebagaimana dikutip Soetopo (2010) membagi komponen iklim organisasi
berdasarkan karakteristik kelompok sebagai berikut :
1) Disengagement atau
ketidakikutsertaan, yaitu suatu kadar dimana staf atau bawahan cenderung tidak
terlibat dan tidak commite terhadap pencapaian tujuan organisasi.
2) Hindrance atau
halangan, yaitu mengacu pada perasaan para staf bahwa pimpinan membebani mereka
dengan tugas yang memberatkan pekerjaan mereka.
3) Esprit atau
semangat, yaitu mengacu pada semangat kerja karena terpenuhinya kebutuhan
social dan rasa punya prestasi dalam pekerjaan.
4) Intimacy atau
keintiman, yaitu kadar kekohesifan antar staf dalam organisasi.
5) Sedangkan
berdasarkan kategori prilaku pemimpin sebagai berikut :
6) Aloofness atau
keberjarakan, yaitu menggambarkan kadar prilaku pemimpin yang formal dan
impersonal yang menunjukkan jarak social dengan staf.
7) Production
Emphasis atau penekanan pada hasil yaitu mengacu pada prilaku pemimpin
agar staf bekerja keras, misalnya dengan pengawasan ketat, direktifdan menuntut
hsil maskimal.
8) Thrust atau
rasa yakin, yaitu mengacu pada kadar prilaku pemimpin yang ditandai kerja
kerasnya agar dicontoh oleh staf.
9) Consideration atau
perhatian, yaitu mengacu pada kadar prilaku pemimpin dengan memperlakukan staf
secara manusiawi sesuai dengan martabatnya (Owens, 1991; Halpin, 1971).
B. BUDAYA
ORGANISASI
a.
Budaya
Istilah budaya
berasal dari bahasa Latin yaitu colere yang berarti mengolah,
mengerjakan, terutama mengolah tanah atau bertani. Kemudian dalam bahasa
Inggris menjadi culture.
Menurut Edgar
H. Schein dalam Umam (2010) berpendapat bahwa “budaya adalah suatu pola asumsi
dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu
sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal yang resmi dan terlaksana dengan baik”. Oleh karena itu, budaya diajarkan
(diwariskan) kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami,
memikirkan, dan merasakan terkait masalah-masalah tersebut.
b. Organisasi
Organisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Setiap manusia hidup dalam sebuah organisasi. Organisasi didefinisikan beragam
oleh para ahli. Variasi definisi ini didasarkan pada sudut pandang dan waktu
ahli ketika mendefinisikan.
Gibson, Ivancevich dan Donelly (1996) mendefinisikan organisasi sebagai “wadah
yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat
dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri”. Lebih jauh, ketiganya
menyebutkan bahwa organisasi adalah suatu unit terkoordinasi yang terdiri
setidaknya dua orang yang berfungsi mencapai satu sasaran tertentu atau
serangkaian sasaran. Definisi ini menekankan pada upaya pencapaian tujuan
bersama secara efektif dan efisien melalui koordinasi antar unit organisasi.
c. Budaya
Organisasi
Terdapat kesepakatan luas bahwa budaya organisasi merujuk pada sistem
pengertian bersama yang dipegang oleh anggota-anggota suatu organisasi yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya (Robbins, 2005;485).
Sistem pengertian bersama ini dalam pengamatan yang lebih seksama merupakan
serangkaian karakter penting yang menjadi nilai bagi suatu organisasi.
Dari semua
definisi tentang budaya organisasi diatas, secara umum dapat ditetapkan bahwa
budaya organisasi berkaitan dengan makna bersama, nilai, sikpa dan keyakinan.
Dapat dikatakan bahwa jantung dari suatu organisasi adalah sikap, keyakinan,
kebiasaan dan harapan dari seluruh individu anggota organisasi mulai dari
manajemen puncak hingga manajemen yang paling rendah, sehingga tidak ada
aktifitas manajemen yang dapat melepaskan diri dari budaya.
BAB IV
KEPEMINPINAN
PENDIDIKAN
Konsep seorang
pemimpin Pendidikan tentang kepemimpinan dari kekuasaan yang memproyeksikan
diri dalam bentuk sikap memimpin, tingkah laku dan sifat kegiatan pemimpin yang
dikembangkan dalam lembaga pendidikannya akan mempengaruhi situasi kerja,
semangat kerja anggota - anggota staf, sifat hubungan kemanusiaan diantara
sesamanya, dan akan mempengaruhi kualitas hasil kerja yang mungkin dapat
dicapai oleh lembaga Pendidikan tersebut. Kepemimpinan dapat diklasifikasikan
menjadi empat tipe
yaitu otoriter, laissez-faire,demokrasi, pseudo demokrasi
1. Tipe
Otoriter
Disebut juga
tipe kepemimpinan authoritarian. Dalam kepemimpinan ini, pemimpin bertindak
sebagai diktator terhadap anggota - anggota kelompoknya. Baginya memimpin
adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Batasan kekuasaan dari pemimpin
otoriter hanya dibatasi oleh undang - undang. Bawahan hanya bersifat sebagai
pembantu, kewajiban bawahan hanyalah mengikuti dan menjalankan perintah dan
tidak boleh membantah atau mengajukan saran. Mereka harus patuh dan setia
kepada pemimpin secara mutlak.
2. Tipe
Laissez-faire
Dalam tipe
kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan kepemimpinannya, dia
membiarkan bawahannya berbuat sekehendaknya. Pemimpin sama sekali tidak
memberikan control dan koreksi terhadap pekerjaan bawahannya. Pembagian tugas
dan kerja sama diserahkan sepenuhnya kepada bawahannya tanpa petunjuk atau
saran - saran dari pemimpin. Dengan demikian mudah terjadi kekacauan -
kekacauan dan bentrokan - bentrokan.
3. Tipe
Demokratis
Pemimpin ikut
berbaur di tengah anggota - anggota kelompoknya. Dalam tindakan dan usaha –
udahanya ia selalu berpangkal kepada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan
mempertimbangkan kesanggupan dan kemampuan kelompoknya.
Dalam melaksanalan tugasnya, ia mau menerima dan bahkan mengharapkan pendapat dan saran - saran dari kelompoknya. Ia mempunyai kepercayaan pula pada anggota - anggotanya bahwa mereka mempunyai kesanggupan bekerja dengan baik dan bertanggung jawab.
Dalam melaksanalan tugasnya, ia mau menerima dan bahkan mengharapkan pendapat dan saran - saran dari kelompoknya. Ia mempunyai kepercayaan pula pada anggota - anggotanya bahwa mereka mempunyai kesanggupan bekerja dengan baik dan bertanggung jawab.
4. Tipe
Pseudo-demokratis
Tipe ini
disebut juga semi demokratis atau manipulasi diplomatic. Pemimpin yang bertipe
pseudo-demokratis hanya tampaknya saja bersikap demokratis padahal sebenarnya
dia bersikap otokratis. Misalnya jika ia mempunyai ide - ide, pikiran, atau
konsep yang ingin diterapkan di lembaga Pendidikannya, maka hal tersebut akan
dibicarakan dan dimusyawarahkan dengan bawahannya, tetapi situasi diatur dan
diciptakan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya bawahan didesak agar menerima
ide atau pikiran tersebut sebagai keputusan bersama. Pemimpin ini menganut
demokrasi semu dan lebih mengarah kepada kegiatan pemimpin yang otoriter dalam
bentuk yang halus, samar - samar, dan yang mungkin dilaksanakan tanpa disadari
bahwa tindakan itu bukan tindakan pimpinan yang demokratis.
BAB V
PENGEMBANGAN
KINERJA GURU
Kinerja
merupakan terjemahan dari kata performance (Job Performance), secara
etimologis performanceberasal dari kata to perform yang berarti
menampilkan atau melaksanakan, sedang kata performance berarti “The act of
performing; execution”( Webster Super New School and Office Dictionary),
menurut Henry Bosley Woolfperformance berarti “The execution of an
action” (Webster New Collegiate Dictionary) Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa kinerja atau performance berarti tindakan menampilkan atau
melaksanakan suatu kegiatan, oleh karena itu performance sering juga
diartikan penampilan kerja atau prilaku kerja.
Sementara itu
Gibson et al (1995: 56), memberikan gambaran lebih rinci dan komprehensif
tentang faktor–faktor yang berpengaruh terhadap performance/kinerja, yaitu :
a. Variabel
Individu, meliputi kemampuan, keterampilan, mental fisik, latar belakang keluarga,
tingkat sosial, pengalaman, demografi (umur, asal – usul, jenis kelamin).
b. Variabel
Organisasi, meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur desain
pekerjaan.
c. Variabel
Psikologis yang meliputi persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan
motivasi.
Pendapat Keith
Davis (1994:484) yang dikutip oleh A. Anwar Prabu Mangkunegara (2001:67)
mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah :
1. Faktor
Motivasi
Motivasi
terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi
merupakan kondisi yang menggerakan diri pegawai yang terarah untuk mencapai
tujuan organisasi. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri
pegawai untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara maksimal. Pegawai akan
mampu mencapai kinerja maksimal jika ia memiliki motivasi tinggi.
2. Faktor
Kemampuan
Secara
psikologis kemampuan (Ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (Knowledge + Skill). Artinya pegawai yang memiliki IQ di
atas rata-rata (IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk
jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan
lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, pegawai perlu
ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.
Menurut
Lunenburg dan Ornstein (2004:53), dalam proses Manajemen Sumberdaya Manusia,
terdapat enam program yaitu :
1. Human
resource planning
2. Recruitment
3. Selection
4. Professional
develepment
5. Performance
appraisal
6. Compensation
Menurut Wayne
F. Cascio (dalam Sahlan Asnawi,1999:145) sebagaimana dikutif
oleh Sahlan Asnawi penilaian Kinerja bertujuan :
1. sebagai
dasar pemberian reward and punishment
2. sebagai
kriteria dalam riset personil
3. sebagai
prediktor
4. sebagai
dasar untuk membantu merumuskan tujuan program training
5. sebagai
feedback bagi karyawan itu sendiri
6. sebagai
bahan kaji bagi organisasi dan pengembangannya
BAB VI
KOMPETENSI
SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN KINERJA GURU
Pengembangan
profesional pendidik memerlukan peningkatan kompetensi khususnya dalam
menghadapi masalah pembelajaran di kelas, dan inovasi pembelajaran merupakan
hal yang penting dalam kompetensi tersebut. Inovasi Pembelajaran
(Depdiknas,2007:2) apabila dilaksanakan secara berkesinambungan akan berdampak
sebagai berikut :
1. Kemampuan
dalam menyelesaikan masalah pembelajaran akan semakin meningkat
2. Penyelesaian
masalah pembelajaran melalui sebuah pengembangan inovasi akan meningkatkan isi,
masukan, proses, sarana/prasarana dan hasil belajar peserta didik
3. Peningkatan
kemampuan dalam pembelajaran tersebut akhirnya akan berdampak pada peningkatan
kepribadian dan keprofesionalan dosen dan guru untuk selalu berimprovisasi baik
melalui adopsi, adaptasi, atau kreasi dalam pembelajaran dan bermuara pada
peningkatan kualitas lulusan.
Dengan
demikian peran guru dalam meningkatkan mutu pendidikan memerlukan sikap
inovatif, karena inovasi pendidikan sangat besar dan menentukan bagi
keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan melalui pengembangan inovasi
pembelajaran atau inovasi lainnya yang dapat menunjang pembelajaran, dan dengan
semakin meningkatnya kualitas pembelajaran harapan dan tujuan untuk dapat
menghasilkan lulusan yang makin berkualitas dan siap serta mampu dalam
menghadapi persaingan akan dapat terwujud.
BAB VII
MUTU
PENDIDIKAN
Kata mutu
diambil dari bahasa latin “Qualis” yang artinya what kind of (tergantung dengan
kata apa yang mengikutinya). Pengertian mutu sendiri menurut Deming ialah
kesesuaian dengan kebutuhan. Sedangkan menurut Juran, mutu ialah kecocokan
dengan kebutuhan. Sallis (2003) mengemukakan bahwa mutu adalah konsep yang
absolut dan relatif. Mutu yang absolut adalah mutu yang mempunyai idealisme
tinggi dan berstandar tinggi yang harus dipenuhi, dengan sifat produk bergengsi
yang tinggi. Sedangkan mutu relatif adalah sebuah alat yang sudah ditetapkan
dan harus memenuhi standar yang telah dibuat.
Mutu di bidang
pendidikan meliputi 4 mutu input, proses, output, dan outcome, yaitu :
a. Input
pendidikan dinyatakan bermutu apabila telah berproses.
b. Proses
pendidikan bermutu jika mampu menciptakan suasana yang aktrif, kreatif dan juga
menyenangkan.
c. Output
dinyatakan bermutu jika hasil belajar dalam bidang akademik dan nonakademik
siswa tinggi.
d. Outcome
dinyatakan bermutu apabila lulusan cepat terserap di dunia kerja, gaji yang
wajar, dan semua pihak mengakui kehebatannya lulusannya dan merasa puas.
Mutu dalam
konteks manajemen mutu terpadu atau Total Quality Management (TQM) bukan hanya
suatu gagasan, tetapi suatu filosofi dan metodologi untuk membantu lembaga
dalam mengelola perubahan secara sistematik dan totalitas, melalui suatu
perubahan visi, misi, nilai, serta tujuan. Di dalam dunia pendidikan untuk
menilai mutu lulusan suatu sekolah dilihat dari keseuaian dalam kemampuan yang
dimilikinya dengan tujuan yang telah ditetapkan di dalam kurikulum.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
PENDIDIKAN
Pengertian
pembiayaan pendidikan yang bersifat budgetair yaitu biaya pendidikan yang
diperoleh dan dibelanjakan oleh sekolah sebagai suatu lembaga. Artinya,
biaya-biaya pendidikan yang bersifat budgetair dan non budgetair termasuk dalam
pengertian biaya pendidikan dalam arti luas. Sedangkan pengertian biaya
pendidikan yang bersifat nonbudgetair yaitu biaya-biaya pendidikan yang
dibelanjakan oleh murid, atau orangtua/keluarga dan biaya kesempatan pendidikan
Nanang Fattah (2006:23).
Berdasarkan
pendekatan unsur biaya (ingredient approach), pengeluaran sekolah dapat
dikategorikan kedalam beberapa item pengeluaran yaitu:
1).
Pengeluaran untuk pelaksanaan pelajaran
2). Pengeluaran untuk tata usaha sekolah
3). Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
4). Kesejahteraan pegawai
5). Administrasi
6). Pembinaan teknis education dan
7). Pendataan
2). Pengeluaran untuk tata usaha sekolah
3). Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
4). Kesejahteraan pegawai
5). Administrasi
6). Pembinaan teknis education dan
7). Pendataan
Menurut Nanag
Fattah (2006:47) penganggaran merupakan kegiatan atau proses penyusunan
anggaran (budget). Budget merupakan rencana operasional yang dinyatakan secara
kuantitatif dalam bentuk satuan uang yang digunakan sebagai pedoman dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan lembaga dalam kurun waktu tertentu.
Menurut Nanang
Fattah (2006:49) melihat perkembangannya, anggaran memfunyai manfaat yang dapat
digolongkan kedalam tiga jenis yaitu:
1. sebagai alat penaksir,
2. sebagai alat otorisasi pengeluaran dana, dan
3. sebagai alat efesiensi.
1. sebagai alat penaksir,
2. sebagai alat otorisasi pengeluaran dana, dan
3. sebagai alat efesiensi.
BAB IX
INOVASI
PENDIDIKAN DAN PERAN GURU
A. Peranan
Guru Di Sekolah
Peranan
diartikan sebagai seperangkat tingkah laku atau tugas yang harus atau dapat
dilakukan seseorang pada situasi tertentu sesuai dengan fungsi dan
kedudukannya. Seperangkat tugas yang harus dilakukan seseorang sesuai dengan
kedudukan dan harapan masyarakatnya disebut dengan peranan yang diharapkan atau
ascribed role. Sedangkan seperangkat tugas dan kewajiban yang dapat
dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada merupakan peranan yang dapat
dicapai atau disebut achieved role.
Sehubungan
dengan tugas profesionalnya, seorang guru paling tidak harus melaksanakan
peranan sesuai dengan profil kemampuan dasar profesional guru dalam proses
belajar-mengajar sebagai berikut:
1.Menguasai
bahan pelajaran
2.Mengelola
program belajar-mengajar
3.Mengelola
kelas
4.Menggunakan
media dan sumber
5.Menguasai
landasan-landasan kependidikan
6.Mengelola
interaksi belajar-mengajar
7.Menilai
prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran
8.Mengenal
fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan
9.Mengenal dan
menyelenggarakan administrasi sekolah
10.Memahami
prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan
pengajaran
Redja
Mudyahardjo dalam Wahyudin, et.al (2007:9.34) mengelompokkan jenis
kemampuan pokok yang ideal dikuasai guru profesional ke dalam 3 kelompok,
yaitu:
1. Kemampuan
membantu siswa belajar secara efisien dan efektif agar mencapai hasil optimal.
Adapun kemampuan itu terdiri atas: (1) Mengelola kegiatan belajar mengajar dan
(2) Melakukan bimbingan siswa.
2. Kemampuan
menjadi penghubung kebudayaan dan masyarakat yang aktif kreatif dan fungsional.
Adapun kemampuan ini terdiri dari: (1) Menjadi mediator kebudayaan baik sebagai
pembawa kebudayaan, pemelihara kebudayaan maupun sebagai pengembang kebudayaan
dan (2) Menjadi komunikator sekolah dan masyarakat.
3. Kemampuan
menjadi pendukung pengelolaan program kegiatan sekolah dan profesi. Adapun
dalam hal ini guru dapat melakukan kegiatan sebagai berikut: (1) Menjadi
anggota staf sekolah yang produktif dan (2) Menjadi anggota administrasi
profesional yang produktif.
Idealnya,
tingkat kemampuan yang diharapkan dimiliki guru profesional adalah tingkat
kemampuan yang menunjukkan efisiensi yang tinggi dalam melaksanakan
pekerjaannya. Menurut Alen Richard dalam Wahyudin
et .al (2007:9.34) efisiensi profesional mencakup 5 kemampuan, yaitu:
1. Ketrampilan
teknologi yaitu dapat melakukan pekerjaan dengan menggunakan teknik-teknik
kerja ilmiah yang mendekati kesempurnaan.
2. Pengetahuan
teknologi yang relevan yaitu dapat menguasai teknik-teknik kerja ilmiah yang dapat
dipergunakan untuk melaksanakan bidang pekerjaannya.
3. Pengetahuan
tambahan untuk pengembangan yaitu dapat menguasai pengetahuan tentang konsep
dan metode penelitian dan pengembangan yang dapat dipergunakan dalam bidang
pekerjaannya.
4. Kemampuan
mengambil keputusan secara tepat yaitu dapat melaksanakan kepemimpinan dalam
bidang pekerjaannya.
5. Kualitas
Moral yaitu teguh terikat pada kode etik jabatannya dalam situasi bagaimana pun
yang dihadapinya.
B. Peran Serta
Guru Dalam Pelaksanaan Inovasi Pendidikan
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu aspek
dapat mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. Demikian jugalah perubahan yang
terjadi pada aspek pendidikan akan berpengaruh pada guru sebagai pemegang
peranan utama dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Telah banyak perubahan
(inovasi ) yang dilakukan dalam bidang pendidikan seperti: 1) Penggunaan
analisis dan pendekatan sistem dalam perencanaan pendidikan dan pengajaran di
Indonesia yang melahirkan produk berupa Sistem Perencanaan, Pemrograman dan
Penganggaran Pendidikan (SP4), 2) Proyek Pendidikan Anak Oleh Masyarakat dan
Orang tua (PAMONG), 3) Pengembangan SD kecil, 4) CBSA, 5) Program Kejar
Paket A, B dan C, 6) SMP dan Universitas Terbuka, 7) Proyek Peningkatan
Mutu Pendidikan Dasar (PEQIP=Primary Education Quality Improvement Project) dan
lain sebagainya.
Dalam berbagai
inovasi yang telah disebutkan dalam contoh diatas dan diterapkan di negara kita
tentulah semuanya melibatkan guru sebagai ujung tombak dalam dunia pendidikan.
Adapun peran serta dan keterlibatan guru dalam setiap inovasi pendidikan
yang ada di Indonesia terdiri atas:
1. Guru
Bersikap Terbuka dan Peka Terhadap Perubahan (Inovasi)
Dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan, guru harus senantiasa bersikap terbuka
terhadap berbagai aspirasi atau kritikan yang muncul dari manapun datangnya.
Guru dituntut untuk selalu siap mendiskusikan apapun bentuknya baik dengan
rekan sejawat, dengan murid, orang tua murid atau dengan masyarakat sekitarnya
yang peduli terhadap kemajuan. Seorang guru yang terbuka senantiasa dapat
menampung aspirasi dari berbagai pihak, sehingga sekolah dapat menjadi agen
perubahan dan guru menjadi pendukung utamanya. Dengan sikap seperti itu akan
mendorong para guru untuk terus menerus berusaha memperbaiki kinerjanya guna
menciptakan suasana kehidupan yang demokratis di sekolah baik dalam proses
belajar-mengajar maupun dalam lingkup yang lebih luas lagi.
Dalam
menghadapi dan menjawab tantangan zaman akibat perkembangan yang pesat dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, guru dituntut pula untuk peka terhadap
berbagai bentuk perubahan baik yang berlangsung di sekolahnya maupun yang
terjadi di lingkungan sekitarnya. Sikap ini penting dimiliki para guru dan tenaga
kependidikan lainnya agar suasana kehidupan sekolah tidak selalu bersifat
rutin, merasa puas dengan sarana dan fasilitas yang ada serta metode dan teknik
pembelajaran yang lama, tetapi selalu berusaha menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang terjadi. Untuk itu kemampuan melakukan penelitian guna
memecahkan masalah yang dihadapi penting serta harus dikuasai dan dimiliki oleh
guru, meskipun dalam kadar yang masih sederhana.
2. Guru
Sebagai Agen Pembaharuan Dalam Inovasi Pendidikan
Inovasi
pendidikan dilakukan guna memecahkan masalah yang dihadapi, agar dapat
memperbaiki mutu pendidikan secara efektif dan efisien. Salah satu bentuk peran
serta yang dapat dilakukan guru terhadap inovasi adalah sebagai agen
pembaharuan. Rogerset.al (1983:312) menjelaskan pengertian agen
pembaharuan sebagai berikut: “A change agent is an individual who influences
clients, innovation decisions in a direction deemed desirable by a change
agency”. Seorang agen pembaharuan adalah seseorang yang mempengaruhi
keputusan inovasi para klien (sasaran) kearah yang diharapkan oleh lembaga
pembaharu.
Guru sebagai
agen pembaharuan dalam inovasi pendidikan dapat melakukan peranan sebagaimana
dikemukakan oleh Nyoman Sucipta, (1982:23) sebagai berikut:
1. pemberi
informasi
2. mempercepat
terjadinya difusi inovasi
3. sebagai
komunikator antar subsistem dalam masyarakat dan
4. berusaha
mengaitkan sistem yang satu dengan sistem yang lain
Sesuai dengan
tahapan inovasi dari sudut pencipta atau agen pembaharu, maka dalam inovasi
pendidikan, peranan guru dapat dimulai dari tahap-tahap sebagai berikut:
1. Invention
(penemuan), meliputi penemuan/penciptaan hal-hal baru dalam aspek tertentu
dalam pendidikan. Tahap ini tentunya diawali dengan pengenalan masalah,
penelitian dan perumusan masalah secara lebih tajam. Misalnya bagaimana
mengatasi anak yang mengalami kesulitan dalam pelajaran listening Bahasa
Inggris.
2. Development
(pengembangan), meliputi saran alternatif pemecahan masalah, percobaan dan
penelitian, percobaan kembali, penilaian dan seterusnya. Misalnya setelah
dicoba dan diteliti berkal-kali ternyata metode pengajaran listening melalui
akuisisi yang lebih efektif digunakan dalam membantu siswa memahami listening
Bahasa Inggris.
3. Diffusion
(penyebaran), mencakup penyebaran ide-ide baru kepada sasaran penerimanya.
Misalnya Setelah terbukti efektif, metode akuisisi dalam pengajaran listening
disebarkan kepada masyarakat luas.
Mengacu pada
peran serta guru sebagai agen pembaharuan dalam inovasi pendidikan, terlihat
bahwa kemampuan pokok yang perlu dimiliki guru adalah kemampuan melakukan
penelitian dalam bidang pendidikan.
Penelitian
tindakan kelas bertujuan untuk peningkatan atau perbaikan praktek pembelajaran
yang seharusnya dilakukan oleh guru. Disamping itu, penelitian tindakan kelas
banyak memberi manfaat bagi guru, salah satunya adalah terlaksananya inovasi
pembelajaran oleh guru di tempat kerjanya atau di kelasnya.
Dalam inovasi
pembelajaran guru dituntut selalu mencoba untuk mengubah, mengembangkan dan
meningkatkan gaya mengajarnya, agar ia mampu melahirkan model mengajar yang
sesuai dengan tuntutan kelasnya.
3.Guru Sebagai
Adopter (Penerima) Inovasi Pendidikan
Peran serta
guru berikutnya dalam menghadapi atau merespon berbagai inovasi pendidikan yang
dilakukan adalah sebagai adopter atau penerima inovasi. Guru sebagai adopter
inovasi pendidikan, tidak akan jauh berbeda dengan peran adopter pada bidang
lainnya. Menurut Rogers (1983:247) terdapat 5 kategori adopter dalam menerima
suatu inovasi, yaitu : (1) Inovator, (2) Pelopor, (3)
Pengikut Awal, (4) Pengikut Akhir, (5) Lagard / Kolot.
Guru yang
berperan sebagai pelopor lebih berorientasi kedalam sistem, biasanya memiliki
ciri dan sifat yang suka meneliti terlebih dahulu terhadap suatu ide baru sebelum
ia berkeputusan untuk menggunakannya. Kelompok adopter ini sering kali terdiri
atas para pemuka pendapat. Anggota sistem lainnya yang termasuk calon adopter
biasanya mencari si pelopor untuk meminta nasihat dan keterangan mengenai
inovasi. Disamping itu, kelompok adopter ini suka dicari oleh agen
pembaharu untuk dijadikan teman pendamping dalam mempercepat adopsi atau
penyebaran inovasi dalam bidang pendidikan. Guru-guru yang tergolong dalam
kelompok adopter biasanya dijadikan teladan karena merupakan lambang
keberhasilan dan kehati-hatian dalam menerima dan menggunakan ide-ide baru.
Adopter
berikutnya dalam menerima inovasi adalah pengikut awal (dini). Biasanya mereka
yang tergolong pada pengikut awal menerima ide-ide baru hanya beberapa saat
setelah anggota-anggota sistem sosial lainnya menerima ide baru. Mereka bukan
yang pertama juga bukan yang terakhir dalam menerima inovasi. Mereka memiliki
banyak pertimbangan dalam menerima dan mengadopsi inovasi.
Kelompok
adopter selanjutnya dalam menerima inovasi adalah pengikut akhir. Biasanya
golongan pengikut akhir ini baru menerima gagasan pembaharuan setelah pada
umumnya para anggota sistem sosial lain menerimanya. Keputusan menerima inovasi
itu mungkin karena kepentingan ekonomi, atau karena adanya tekanan sosial.
Setiap ada inovasi mereka selalu bersikap ragu (skeptis) dan hati-hati sekali.
Kelompok ini biasanya baru menerima inovasi apabila sebagian anggota masyarakat
telah menerimanya.
Terakhir
adalah kelompok adopter lagard (kolot/tradisional). Yang tergolong pada
kelompok lagard adalah orang-orang yang terakhir menerima suatu gagasan baru.
Mereka ini memiliki pandangan dan wawasan yang paling sempit diantara semua
kelompok adopter. Referensi mereka adalah masa lalu, sehingga keputusan yang
diambilnya dikaitkan dengan apa yang telah dilakukan oleh generasi lalu.
Ketidaklancaran dalam menerima inovasi adalah karena mereka itu tidak memahami
ide-ide baru itu. Ketika akhirnya mereka menerima inovasi, dia sudah jauh
tertinggal oleh teman-temannya yang sudah lebih dahulu menerima.
0 Komentar:
Post a Comment