Sponsor

Thursday, September 14, 2017

Makalah Fikih Bab Waris

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar belakang
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan di sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli waris telah memiliki bagian-bagian tertentu. Seperti yang tercantum dalam Firman Allah SWT sebagai berikut :
تَرَكَ مِمَّا نَصِيبٌ وَلِلنِّسَاءِ وَالأقْرَبُونَ الْوَالِدَانِ تَرَكَ مِمَّا نَصِيبٌ لِلرِّجَالِ
مَفْرُوضًا نَصِيبًا كَثُرَ أَوْ مِنْهُ قَلَّ مِمَّا وَالأقْرَبُونَ الْوَالِدَانِ
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”

  1. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Apa yang dimaksud dengan waris ?
  2. Apa saja syarat dan rukun waris ?
  3. Sebutkan golongan ahli waris !
  4. Sebutkan  hak-hak yang bersangkutan dengan harta waris !
  5. Jelaskan mngenai bagian-bagian ahli waris !
  6. Apa sajakah Sebab-sebab tidak mendapatkan harta waris ?
  7. Apa yang di maksud dengan ‘Aulu ?
  8. Hal-hal apa saja yang menghalangi waris ?
  9. Apa yang di maksud dengan Wasiat ?

  1. Tujuan Pembuatan Makalah
  2. Untuk mengetahui dan memaparkan hukum waris menurut pandangan agama Islam.
  3. Untuk menambah wawan pembaca mengenai hukumwaris menurut pandangan agama Islam.




BAB II
HUKUM WARIS MENURUT ISLAM
  1. Pengertian waris
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.[1]Kata ورث adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur’an.[2]  Kata waris dalam berbagai bentuk makna tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:
a. Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).
b. Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).
c. Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6).[3]

Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.[4] Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut:
علم يعرف به من يرث ومن لا يرث ومقداركل وارث وكيفية التوزيع
“Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar yang diterima oleh ahli waris serta cara pembagiannya.”[5]

Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[6] Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.

Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan warisan, diantaranya adalah:
1. Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
2. Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal) baik secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.
3. Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat.
4. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
5. Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat.[7]

Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).

  1. Syarat dan rukun waris
Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
  1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
  2.  Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
  3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.[8]

Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :
  1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
a)      Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
b)      Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c)      Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.[9]
  1. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
  2. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.[10]

  1. Golongan ahli waris
Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang meninggal sebanyak 25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
  1. Golongaan ahli waris dari pihak laki-laki, yaitu :
  2. Anak laki-laki.
  3. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu) dari pihak anak laki-laki, terus kebawah, asal pertaliannya masih terus laki-laki.
  4. Bapak.
  5. Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas pertalian yang belum putus dari pihak bapak.
  6. Saudara laki-laki seibu sebapak.
  7. Saudara laki-laki sebapak saja.
  8. Saudara laki-laki seibu saja.
  9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.
  10. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja.
  11. Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.
  12. Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.
  13. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.
  14.  Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja.
  15. Suami.
  16. Laki-laki yang memerdekakannya (mayat).

Apabila 10 orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta warisan hanya 3 orang saja, yaitu :
  1. Bapak.
  2. Anak laki-laki.
  3. Suami.
  4. Golongan dari pihak perempuan, yaitu :
  5. Anak perempuan.
  6. Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asal pertaliannnya dengan yang meninggal masih terus laki-laki.
  7. Ibu.
  8. Ibu dari bapak.
  9. Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.
  10. Saudara perempuan seibu sebapak.
  11. Saudara perempuan yang sebapak.
  12. Saudara perempuan seibu.
  13. Istri.
  14. Perempuan yang memerdekakan si mayat.
Apabila 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu :
  1. Isteri.
  2. Anak perempuan.
  3. Anak perempuan dari anak laki-laki.
  4. Ibu.
  5. Saudara perempuan yang seibu sebapak.
Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan semuanya ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami isteri,  ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
Anak yang berada dalam kandungan ibunya juag mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal dunia sewaktu dia masih berada di dalam kandungan ibunya. Sabda Rasulullah SAW. “apabila menangis anak yang baru lahir, ia mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud).[11]
  1. Beberapa hak yang bersangkutan dengan harta waris
Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
  1. Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
  2. Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
  3. Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
  4. Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si mayat.[12]


  1. Bagian-bagian ahli waris
Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara pembagian dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa yang tidak mendapat bagian dan berapa besar bagiannya adalah ilmu faroidlAl-Faraaidh ( الفرائض ) adalah bentuk jamak dari kata Al-Fariidhoh (الفريضه ) yang oleh para ulama diartikan semakna dengan lafazh mafrudhah, yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan kadarnya.[13]  Ketentuan kadar bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut :
  1. Yang mendapat setengah harta.
  2. Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama-sama saudaranya. Allah berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 11 :
لنِّصْفُا فَلَهَا وَاحِدَةً كَانَتْ وَإِنْ
Artinya : “Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka ia memperolah separo harta.”
  1. Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan.(berdasarkan keterangan ijma’)

  1. Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila ia saudara perempuan seibu sebapak tidak ada dan ia hanya seorang saja.
  2. Suami, apabila isterinya yang meninggal dunia itu tidak meninggallkan anak dan tidak pula ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.[14]

  1. Yang mendapat seperempat harta.
  2. Suami, apabila isteri meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun anak perempuan, atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :
بِهَا يُوصِينَ وَصِيَّةٍ بَعْدِ مِنْ تَرَكْنَ مِمَّا الرُّبُعُ فَلَكُمُ وَلَدٌ لَهُنَّ كَانَ فَإِنْ دَيْنٍ أَوْ
Artinya : “Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang di tinggalkannyasesudah dik penuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah di bayar utangnya.”
  1. Istri, baik hanya satu orang ataupun berbilang, jika suami tidak meninggalkan anak(baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan tidak pula anak dari anak laki-laki(baik laki-laki maupun perempuan). Maka apabila istri itu berbilang, seperempat itu di bagi rata antara mereka.[15]

  1. Yang mendapat seperdelapan harta.
Istri baik satu ataupun berbilang, mendapat warisan dari suaminya seperdelapan dari harta kalau suaminya yang meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun perempuan, atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki ataupun perempuan.

Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :
الثُّمُنُ فَلَهُنَّ وَلَدٌ لَكُمْ كَانَ فَإِنْ
Artinya : “Jika kamu mempunyai anak, maka para istri itu memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.”[16]

  1. Yang mendapat dua pertiga harta.
  2. Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila tidak ada anak laki-laki.
  3. Dua orang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Apabila ia anak perempuan tidak ada, berarti anak perempuan dari anak laki-laki yang berbilang itu, mereka mendapatkan harta warisan dari kakek mereka sebanyak dua pertiga dari harta. Hal itu beralasan pada qias, yaitu di qiaskan dengan anak perempuan karena hukum cucu (anak dari anak laki-laki) dalam beberapa perkara, seperti hukum anak sejati.
  4. Suadara perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang(dua atau lebih). Firman Allah SWT, dalam Surah An-Nisa’ ayat 176, yaitu :
تَرَكَ مِمَّا الثُّلُثَانِ فَلَهُمَا اثْنَتَيْنِ كَانَتَا فَإِنْ
Artinya : “Jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang di tinggalkan oleh yang meninggal.”
  1. Saudara perempuan yangs sebapak, dua orang atau lebih.
Keterangannya adalah surah An-Nisa’ ayat 176 yang tersebut di atas, karena yang di maksud dengan saudara dalam ayat tersebut  ialah saudara seibu sebapak atau saudara sebapak saja apabila saudara perempuan yang seibu sebapak tidak ada.[17]

  1. Yang mendapat sepertiga harta.
  2. Ibu, apabila yang meninggal tidak meningglkan anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara, baik laki-laki ataupun perempuan, seibu sebapak atau sebapak saja, atau seibu saja.
  3. Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :
الثُّلُثِ فِي شُرَكَاءُ فَهُمْ ذَلِكَ مِنْ أَكْثَرَ كَانُوا فَإِنْ
Artinya : “Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”[18]
  1. Yang mendapat sepereenam harta.
  2. Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki,atau beserta dua saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun saudara perempuan, seibu sebapak, sebapak saja, atau seibu saja.
  3. Bapak si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki.
c. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), kalau ibu tidak ada. Hal ini  beralasan dari hadist yang diriwayatkan oleh zaid yang artinya : “Sesungguhnya nabi SAW. telah menetapkan bagian nenek seperenam dari harta “  
d. Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, (anak perempuan dari anak laki-laki). Mereka mendapatkan seperenam dari harta, baik sendiri atau berbilang, apabila bersama-sama seorang anak perempuan. Tetapi apabila anak perempuan berbilang, maka cucu perempuan tadi tidak mendapat harta waris.
  1. Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak laki-laki, sedangkan bapak tidak ada. (keterangan berdasarkan ijma’ para ulama’)
  2.  Untuk seorang sudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :
السُّدُسُ مِنْهُمَا وَاحِدٍ فَلِكُلِّ أُخْتٌ أَوْ أَخٌ وَلَهُ
Artinya : “Dan apabila si mayat mempunyai seorang sudara laki-laki(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.”
  1. Saudara perempuan yang sebapak saja, baik sendiri ataupun berbilang, apabila beserta saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara seibu sebapak berbilang(dua atau lebih), maka saudara sebapak tidak mendapat harta warisan. (berdasarkan ijma’ para ulama’).[19]

  1. Sebab-sebab tidak mendapatkan harta waris
Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris menurut ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut akan di jelaskan orang-orang yang mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi kurang karena ada yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka.
  1. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat harta waris karena ada ibu, sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek. Begitu juga kakek, tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada, karena bapak lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.
  2. Saudara seibu, tidak mendapatkan harta waris karena adanya orang yang di sebut di bawah ini :
  3. Anak, baik laki-laki maupun perempuan.
  4. Anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
  5. Bapak.
  6. Kakek.
  7. Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya salah seorang dari empat orang berikut :
  8. Bapak.
  9. Anak laki-laki.
  10. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki).
  11. Sudara laki-laki yang seibu sebapak.
  12. Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan harta waris apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di bawah ini :
  13. Anak laki-laki.
  14. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki)
  15. Bapak.
  16. Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan harta waris namun saudara perempuan mereka tidak mendapat harta waris, yaitu:
  17. Saudara laki-laki bapak(paman) mendapatkan harta waris. Namun, saudara perempuan bapak (bibi) tidak mendapatkan harta waris.
  18. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki(anak laki-laki paman dari bapak) mendapat harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
  19. Anak laki-laki saudara laki-laki mendapatkan harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.[20]
  1. Pengertian ‘Aulu
‘Aulu artinya jumlah beberapa ketentuan lebih banyak daripada satu bilangan, atau berarti jumlah pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak dari pada kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut-penyebutnya. Umpamanya ahli waris adalah suami dan dua saudara seibu sebapak, maka suami mendapat ketentuan 1/2 , dua saudara perempuan mendapat 2/3 sedangkan kelipatan persekutuan terkecil dari 2 dan 3 adalah 6. Kita jadikan 3/6 untuk suami dan 4/6 untuk kedua saudara perempuan. Jadi jumlah pembilang keduanya adalah 7, sedangkan penyebut keduanya hany 6. Disini nyata bahwa pembilang lebih banyak dari penyebut. Apabila terdapat masalah seperti ini, harta hendaknya kita bagi tujuh bagian : tiga bagian untuk suami dan empat bagian untuk kedua saudara perempuan. Sebenarnya keduan macam ahli waris ini tidak mengambil seperti ketentuan masing-masing, tetapi keadilan memaksa menjalankan seperti tersebut.
Contoh yang kedua : Ahli waris adalah istri, ibu, dua saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak, dan seorang saudara seibu(baik laki-laki maupun perempuan). Ketentuan masing-masing adalah intri mendapar 1/4 , ibu mendapat 1/6, dua saudara perempuan mendapat  2/3 dan seorang saudara seibu mendapat 1/6. Kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut beberapa ketentuan tersebut adalah 12, kita atur sebagai berikut : 1/4+1/6+2/3+1/6 = 3/12+2/12+8/12+2/12 = 15/12. Jadi, harta perlu di bagi 15 bagian : 3 bagian dari 15 bagian untuk istri, 2 bagian untuk ibu, 8 bagian untuk dua orang saudara perempuan, 2 bagian untuk saudara seorang seibu. Berarti tiap-tiap bagian itu di hitung dari 15, bukan dari 12, sedangkan ketentuan masing-masing hendaknya di ambil dari 12, tetapi dalam masalah ‘aulu masing-masing hanya mengambil  dari 15 . inilah yang dimaksud dengan ‘aulu. Terjadinya karena banyaknya ahli waris sehingga jumlah ketentuan mereka lebih banyak dari pada satu bilangan, buktinya pembilang lebih banyak dari penyebut.[21]
  1. Hal-hal yang menghalangi waris
Pada umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:
  1. Pembunuhan.
Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak menjadi penghalang waris, karena adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah SAW, Yang Artinya:” Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun dari harta warisan (Hadis Riwayat an-Nasa’i dengan isnad yang sahih)”.[22]

Imam Syafi’i memberikan contoh pembunuhan yang dapat menjadi penghalang mewarisi sebagai berikut:
  1. Hakim yang menjatuhkan hukuman mati, tidak dapat mewarisi harta orang yang telah dijatuhi hukuman mati.
  2. Algojo yang menjalankan tugas membunuh tidak dapat mewarisi harta orang peninggalan pesakitan yang dibunuhnya.
  3. Seseorang yang memberikan persaksian (sumpah) palsu, tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang menjadi korban persaksian palsunya.[23]

  1.  Berbeda Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah agama yang dianut antara waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim dan kafir (non Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang  Artinya:” Diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat an-Nasa’I dengan isnad yang sahih)”[24]

  1. Perbudakan.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima warisan, karena budak (hamba sahaya) secara yuridis tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, sedangkan hak kebendaannya dikuasai oleh tuannya. Sehingga ketika tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak untuk mewarisi, karena pada hakekatnya seorang budak juga merupakan “harta” dan sebagai harta maka dengan sendirinya benda itu bisa diwariskan.

  1.  Berlainan Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
  1. Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah komando yang berbeda.
  2. Kepala negara yang berbeda.
  3. Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatik yang terjalin antar keduanya.[25]

Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI). Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita temukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum kewarisan Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam. Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:
“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”[26]

Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan dalam pasal 172 KHI yang berbunyi:
“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”[27]

Sedangkan penghalang mewarisi yang berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat pewaris dan memfitnah telah dijelaskan dalam pasal 173 KHI yang berbunyi:
“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
  1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
  2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.”[28]

I. Pengertian Wasiat
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang meninggal dunia. Hukum wasiat adalah sunnah.
  1. Rukun wasiat adalah sebagai berikut :
  1. Ada orang yang berwasiat.
  2. Ada yang menerima wasiat.
  3. Sesuatu yang di wasiatkan.
  4. Lafadz(kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.[29]
Sebanyak-banyak wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apaila di izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :
Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Alanghkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka dari sepertiga k seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “ Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu banyak.” ” (HR. Bukhori dan Muslim)
Wasiat hanya di tujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah kecuali apabila di ridhoi oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya yang berwasiat. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :
 Dari abu Amamah, Ia berkata : “ Saya telah mendengar Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris. Maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli wari.”(HR. Liam orang ahli hadist selain Nasai)[30]

  1. Syarat orang yang di serahi menjalankan wasiat, yaitu :
  1. Beragama Islam.
  2. Baligh.
  3. Berakal.
  4. Merdeka.
  5. Amanah.
  6. Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang di  kehendaki oleh yang berwasiat.[31]









                                                                                                


BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di simpukan bahwa :
  • Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup.
  • Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
  • Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan orang yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.
  • Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an, sehingga tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin kebenarannya.
  • Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
  1. Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
  2. Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
  3. Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
  4. Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si mayat.
  • Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang meninggal dunia dan hukum wasiat adalah sunnah.

  1. Saran
  • Rasululloh SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh rodliallohu ‘anhu, yaitu :
“Diriwatkan dari Abu Hurairoh rodliallohu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “pelajarilah oleh kalian ilmu faro’id, karena sesungguhnya ilmu faro’id itu sebagian dari agama kalian dan setengah dari seluruh ilmu. Dan sesungguhnya ilmu faro’id itu ilmu yang mula-mula akan di cabut dari umatku”.”
Dari hadist tersebut dapat di peroleh kesimpulan bahawa ilmu faraid atau yang biasa di kenal dengan ilmu pembagian harata waris ini sangat penting untuk di pelajari. Oleh karena itu pengenalan dan pemahaman ilmu faraid harus lebih di tingkatkan lagi.

  • Mempelajari ilmu ini juga untuk mengetahui dengan jelas orang-orang yang berhak menerima warisan sehingga terhindar dari perselisihan dan perebutan harta penginggalan yang meninggal.
  • Mengajarkan ilmu faraid(ilmu pembagian harta waris) memang tidak mudah, metode pengajaran yang kreatif dan inovatif sangat di perlukan kerena tidak dapat di pungkiri bahwa ilmu faraidh sudah mulai tidak di gunakan lagi, padahal ilmu faraidh telah di jelaskan d Al-Qur’an yang di jamin kebenarannya. Metode pengajaran yang dapat di lakukan adalah dengan menerapkannya langsung pada kisah nyata kehidupan sehari-hari orang-orang dalam suatu masyarakat.




















DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.


[1]Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’ Al- Kitab wa Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “ Pembagian Waris Menurut Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 33
[2]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-4, 2000, hlm. 355
[3]ibid
[4]ibid
[5]]Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, t.th. hlm. 1
[6]Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983. hlm.13
[7]Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 4
[8]Muhammad Ali Ash-Sahabuni , op. cit. hlm. 40
[9]Muslich Maruzi, op. cit., hlm. 21-22
[10]Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, op. cit , hlm. 29
[11]H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 349
[12]  ibid, hlm. 347
[13]Asymuni A. Rahman, et al., Ilmu Fiqh 3, Jakarta: IAIN Jakarta , 1986, Cet. Ke-2, hlm. 1
[14]H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 355
[15]ibid, hlm. 356
[16]H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 357
[17]ibid, hlm. 357
[18]ibid, hlm. 358
[19]H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 359
[20]H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 363
[21]ibid, hlm. 367
[22]Imam Abi Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i, op. cit., hlm. 79
[23]Fatchur Rahman, op. cit., hlm. 91
[24]Al Bayan
[25]bdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia, 2002, hlm.35
[26]Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 81
[27]ibid. hlm. 82
[28]  ibid.
[29]H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 371
[30]ibid, hlm. 372


[31]ibid, hlm. 373

0 Komentar:

Post a Comment

bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online