KATA PENGANTAR
بسم
الله الرحمن الرحيم
Segala
Puji Bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, shalawat dan salam kita
haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabat
beliau, serta pengikut beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah,
atas karunia dan rahmat yang diberikan kepada penulis, sehingga makalah ini
dapat disusun dan diselesaikan berdasarkan waktu yang telah diberikan. Makalah
ini berjudul “Konsep Pengembangan Pasar Uang Syariah”.
Penulis menyadari
bahwa terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis
berharap pembaca bisa memberikan kritik dan saran-saran yang membangun dan
memotivasi penulis untuk lebih baik lagi dalam membuat makalah.
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca maupun yang menulis. Amin yarabbal
a’lamiin.
Darussalam, 27
Oktober 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangan
produk-produk yang berbasis syariah dibidang lembaga keuangan semakin marak
sekarang ini, tidak terkecuali dengan pegadaian. Pegadaian pun mengeluarkan
produk yang berbasis syariah, yang mana sering disebut sebagai pegadaian
syariah. Pegadaiaan syariah memiliki karakteristik yang berbeda dengan
pegadaian umum (konvensional), karakteristik tersebut sebagaimana yang tertera
dalam prinsip syariah mengenai lembaga keuangan, yaitu tidak adanya
praktik-praktik yang diharamkan dalam prinsip syariah seperti riba, gharar, dan
maisir.
Guna
menghindari praktik-praktik yang diharamkan dalam prinsip islam, maka dalam
operasional kegiatan pegadaian syariah menggunakan dua akad, yaitu akad rahn
dan akad ijarah. Dengan menggunakan dua akad tersebut kegiatan usaha yang
dijalankan oleh pegadaian syariah dinilai dapat menghindari praktik-praktik
yang diharamkan.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. apa
pengertian pegadaian dan pegadaian syariah?
2. Apa
landasan hukum pegadaian syariah?
3. Bagaimana
sejarah dan perkembangan pegadaian secara umum dan khusus (syariah)?
4. Apa
saja jenis-jenis akad di dalam pegadaian syariah?
5. Bagaimana
mekanisme kerja pada pegadaian syariah dan pegadaian konvensional?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “Lembaga Keuangan Non Bank” yang
diberikan oleh dosen pengasuh dan untuk mengetahui berbagai pengetahuan tentang
“Pegadaian” yang akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Pegadaian
Pegadaian
adalah salah satu lembaga keuangan bukan bank di Indonesia yang mempunyai
aktifitas pembiayaan kebutuhan masyarakat, baik bersifat produktif maupun
konsumtif, dengan menggunakan hukum gadai. Pada dasarnya transaksi pembiayaan
yang dilakukan oleh pegadaian sama dengan prinsip pinjaman melalui lembaga
perbankan, namun yang membedakannya adalah dasar hukum yang digunakan yaitu
hukum gadai.[1]
Pegadaian
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebutkan: “Gadai adalah
suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh oranng lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada oran yang berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang
berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelag barang tersebut dan
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”[2]
Dalam
perspektif islam, pegadaian (gadai) dalam bahasa Arab disebut rahn. Secara
bahasa, rahn berarti ‘tetap dan lestari’, sedangkan menurut istilah adalah
menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat
diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus.[3]Menurut ulama
fikih gadai (rahn) adalah menjadikan barang sebagai jaminan utang
yang dapat dijadikan sebagai pembayar utang apabila orang yang berutang tidak
bisa mengembalikan utangnya. [4]
Menurut ulama
Syafi’iyah, rahn adalah menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai
jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar
utangnya. Sedangkan menurut ulama Hanabilah, rahn adalah suatu benda yang
dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang
berutang tidak sanggup membayar utangnya.
Jadi, gadai
(rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam
(rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang
diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin)
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari
barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang
pada waktu yang telah ditentukan.[5]
2. Landasan
Hukum Pegadaian Syariah
Dasar hukum
yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Nabi
Muhammad saw., ijma’ ulama, dan fatwa MUI.[6]
a) Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah
ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam membangun konsep gadai adalah
sebagai berikut:
“jika kamu
dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
b) Hadits
Nabi Muhammad saw
Dasar hukum
yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai syariah adalah
hadis Nabi Muhammad saw.:[7] “Dari
Aisyah ra. Sesungguhnya Nabi saw membeli makanan dari orang Yahudi dengan cara
ditangguhkan pembayarannya, kemudian Nabi menggadaikan baju besinya”.
c) Ijma’
Ulama
Jumhur ulama
menyepakati kebolehan status hukum gadai. Berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad
saw yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang
Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw
tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para
sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai
sikap Nabi Muhammad saw yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya
enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw
kepada mereka.[8]
d) Fatwa
Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan
Sayariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan
yang berkenaan gadai syariah, diantaranya dikemukakan sebagai berikut:[9]
1) Fatwa
DSN-MUI No: 25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn;
2) Fatwa
DSN-MUI No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
3) Fatwa
DSN-MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000, tentang PembiayaanIjarah;
4) Fatwa
DSN-MUI No: 10/DSN-MUI/IV/2000, tentang Wakalah;
5) Fatwa
DSN-MUI No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Rugi.
Adapun rukun
dan syarat gadai (rahn) adalah sebagai berikut:[10]
a. Rukun
Gadai (Rahn)
1) Orang
yang menggadaikan (rahin).
2) Yang
meminta gadai (murtahin).
3) Barang
yang digadaikan (marhun/rahn).
4) Utang
(marhun bih).
5) Ucapan shighah
ijab dan qabul.
b. Syarat
Gadai (Rahn)[11]
1) Rahin
dan murtahin
Pihak-pihak
yang melakukan perjanjian rahn, yakni rahn dan murtahin,
harus mempunyai kemampuan yaitu berakal sehat.
2) Shighah (akad)
Shighah tidak
boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan waktu di masa mendatang.
3) Marhun
bih (utang)
Harus merupakan
hak yang wajib diberikan dan diserahkan kepada pemiliknya dan memungkinkan
pemanfaatannya.
4) Marhun (barang)
Menurut ulama
Syafi’iyah gadai bisa sah dengan terpenuhinya 3 syarat:
a) Harus
berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan.
b) Penetapan
kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang.
c) Barang
yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba masa pelunasan utang gadai.
c. Syarat-Syarat
Barang Rahn
1) Harus
bisa diperjualbelikan.
2) Harus
berupa harta yang bernilai.
3) Marhun harus
bisa dimanfaatkan secara syariah, tidak berupa barang haram.
4) Harus
diketahui keadaan fisiknya.
5) Harus
dimilika oleh rahn, setidaknya harus atas seizin pemiliknya.
3. Sejarah
dan Perkembangan Pegadaian Secara Umum dan Khusus
Usaha Pegadaian
di Indonesia dimulai pada zaman penjajahan Belanda (VOC) di mana pada saat itu
tugas pegadaian adalah membantu masyarakat untuk meminjamkan uang dengan
jaminan gadai. Pada mulanya usaha ini dijalankan oleh pihak swasta, namun dalam
perkembangan selanjutnya usaha pegadaian ini diambil alih oleh pemerintah
Hindia Belanda. Kemudian dijadikan perusahaan negara, menurut undang-undang
pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu dengan status Dinas Pegadaian.
Dalam sejarah
dunia usaha pegadaian pertama kali dilakukan di Itali. Kemudian dalam
perkembangan selanjutnya meluas ke wilayah-wilayah Eropa lainnya seperti
Inggris, Prancis, dan Belanda. Oleh orang-orang Belanda lewat pihak VOC usaha
pegadaian dibawa masuk ke Hindia Belanda.
Di zaman
kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih usaha Dinas Pegadaian
dan mengubah status pegadaian menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian
berdasarkan Undang-Undang No.19 Prp. 1960. Perkembangan selanjutnya pada
tanggal 11 Maret 1969 berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1969 PN
Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Kemudian pada tanggal 10
April 1990 berdasarkan peraturan Pemerintah N0.10 Tahun 1990 Perjan Pegadaian
berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Sampai saat ini lembaga yang
melakukan usaha berdasarkan atas hukum gadai hanyalah Perum Pegadaian.[12]
Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1990 diubah menjadi Peraturan Pemerintah N0. 103 Tahun
2000 tentang pegadaian. Aturan ini menandai kedinamisan ruang gerak pegadaian
dalam menjalankan usaha dalam status sebagai Perusahaan Umum dengan mengemban
misi, yaitu:[13]
1) Turut
meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah
melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan bidang keuangan lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Menghindarkan
masyarakat dari gadai gelap, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
Adapun
pegadaian syariah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kemauan warga
masyarakat Islam untuk melaksanakan transaksi akad gadai berdasarkan prinsip
syariah dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan praktik ekonomi dan lembaga
keuangan yang sesuai dengan nilai dan prinsip hukum Islam.[14]
Besarnya
permintaan warga masyarakat terhadap Perum Pegadaian membuat lembaga-lembaga
keuangan syariah juga melirik kepada sektor pegadaian, sektor yang dapat
dikatakan agak tertinggal dari sekian banyak lembaga keuangan syariah lainnya.
Melihat semakin berkembang permintaan warga masyarakat dan pola bisnis berbasis
syariah di Indonesia, Perum Pegadaian tertarik untuk menerapkannya.[15]
Fungsi operasi
pegadaian syariah dijalankan oleh kantor-kantor cabang Pegadaian Syariah/Unit
Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan
Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang
secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional.
Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan
Gadai Syariah (ULGS) cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul
kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makassar, Semarang, Surakarta, dan
Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama
pula, 4 kantor cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.[16]
Beberapa bank
umum syariah yang ada di Indonesia pun telah terjun di pasar pegadaian dengan
menjalankan prinsip syariah. Ada bank syariah yang bekerja sama dengan Perum
Pegadaian membentuk Unit Layanan Gadai Syariah di beberapa kota di Indonesia
dan beberapa bank umum syariah lainnya menjalankan kegiatan pegadaian syariah
sendiri.[17]
4. Jenis-jenis
Akad dalam Pegadaian Syariah
Ada beberapa
jenis akad dalam pegadaian syariah, yaitu:
a) Akad
Qard Al-Hasan
Akad qard
al-hasan adalah suatu akad yang dibuat oleh pihak pemberi gadai dengan pihak
penerima gadai dalam hal transaksi gadai harta benda yang bertujuan untuk
mendapatkan uang tunai yang diperuntukkan untuk konsumtif.[18]
b) Akad
Mudharabah
Akad mudharabah
adalah suatu akad yang dilakukan oleh pihak pemberi gadai (rahin) dengan pihak
penerima gadai (murtahin). Pihak pemberi gadai atau orang yang menggadaikan
harta benda sebagai jaminan untuk menambah modal usahanya atau pembiayaan
produktif.[19]
c) Akad
Ba’i Muqayyadah
Akad ba’i
muqayyadah adalah akad yang dilakukan oleh pemilik sah harta benda barang gadai
dengan pengelola barang gadai agar harta benda dimaksud, mempunyai manfaat yang
prosuktif.[20]
d) Akad
Ijarah
Adalah akad
yang objeknya merupakan penukaran manfaat harta benda pada masa tertentu, yaitu
pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan seseorang menjual manfaat barang.[21]
e) Akad
Musyarakah Amwal Al-‘Inan
Akad musyarakah
amwal al-‘inan adalah suatu transaksi dalam bentuk perserikatan antara dua
pihak atau lebih yang disponsori oleh pegadaian syariah untuk berbagai hasil,
berbagai kontribusi, berbagai kepemilikan, dan berbagai resiko dalam sebuah
usaha.[22]
5. Mekanisme
Kerja pada Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah
Dalam pegadaian
konvensional, obyek yang digadaikan biasanya terdiri dari emas dan perhiasan
lainnya. Meskipun perhiasan berlian kurang diminati oleh pegadaian, karena
beberapa faktor dalam prakteknya yaitu adanya penipuan. Jadi yang lebih
diminati adalah emas, karena lebih mudah ditandai keasliannya. Selain
perhiasan, diterima pula kendaraan seperti mobil, motor, dan lain-lain meskipun
tetap yang lebih disukai adalah emas.[23]
Seperti
diketahui bahwa menariknya peminjaman uang dipegadaian disebabkan prosedurnya
yang mudah, cepat dan biaya yang dikenakan relatif ringan. Di samping itu,
biasanya Perum Pegadaian tidak begitu mementingkan untuk apa uang tersebut
digunakan. Yang penting setiap proses peminjaman uang di pegadaian haruslah
dengan jaminan barang-barang tertentu. Secara garis besar proses atau prosedur
peminjaman uang di Perum Pegadaian dapat dijelaskan berikut ini.[24]
a. Nasabah
datang langsung ke bagian informasi untuk memperoleh penjelasan, tentang
pegadaian, misalnya tentang barang jaminan, jangka waktu pengembalian, jumlah
pinjaman, dan biaya sewa modal (bunga pinjaman).
b. Bagi
nasabah yang sudah jelas dan mengetahui prosedurnya dapat langsung membawa
barang jaminan ke bagian penaksir untuk ditaksir nilai jaminan yang diberikan.
Pemberian barang jaminan disertai bukti diri seperti KTP atau surat kuasa bagi
pemilik barang yang tidak dapat datang.
c. Bagian
penaksir akan menaksir nilai jaminan yang diberikan, baik kualitas barang
maupun nilai barang tersebut, kemudian barulah ditetapkan nilai taksir barang
tersebut.
d. Setelah
nilai taksir ditetapkan langkah selanjutnya adalah menentukan jumlah pinjaman
beserta sewa modal (bunga) yang dikenakan dan kemudian diinformasikan ke calon
peminjam.
e. Jika
calon peminjam setuju, maka barang jaminan ditahan untuk disimpan dan nasabah
memperoleh pinjaman, berikut surat bukti gadai.
Kemudian untuk
proses pembayaran kembali pinjaman baik yang sudah jatuh tempo maupun yang
belum dapat dilakukan sebagai berikut:[25]
a. Pembayaran
kembali pinjaman berikut sewa modal dapat langsung dilakukan di kasir dengan
menunjukkan surat bukti gadai dan melakukan pembayaran sejumlah uang.
b. Pihak
pegadaian menyerahkan barang jaminan apabila pembayarannya sudah lunas dan
diserahkan langsung ke nasabah untuk diperiksa kebenarannya dan jika sudah
benar dapat langsung dibawa pulang.
c. Pada
prinsipnya pembayaran kembali pinjaman dan sewa modal dapat dilakukan sebelum
jangka waktu pinjaman jatuh tempo. Jadi si nasabah jika sudah punya uang dapat
langsung menebus jaminannya.
d. Bagi
nasabah yang tidak dapat membayar pinjamannya, maka barang jaminannya akan
dilelang secara resmi ke masyarakat luas.
e. Hasil
penjualan lelang diberitahukan kepada nasabah dan seandainya uang hasil lelang
setelah dikurangi pinjaman dan biaya-biaya masih lebih akan dikembalikan ke
nasabah.
Sedangkan pada
pegadaian syariah, proses pinjam-meminjamnya masih sama dengan konvensional.
Secara umum tidak ada perbedaan dari sisi peminjam. Hanya saja, bunga yang
dikenakan pada pegadaian konvensional, diganti dengan biaya penitipan pada
pegadaian syariah.[26]
Mekanisme
penyaluran pinjaman pada pelaksanaan sistem gadai syariah mempunyai prinsip
bahwa nasabah hanya dibebani biaya administrasi dan jasa simpan harta benda
sebagai barang jaminan. Rahin menyimpan barang sebagai jaminan
mempunyai jasa atau biaya dan biaya administrasi dibebankan kepada nasabah
gadai syariah. Oleh karena itu, nasabah yang meminjam uang ke Kantor Cabang
Pegadaian Syariah hanya wajib membayar sewa simpan barang. Masa gadai dapat
diperpanjang, perpanjangan itu tidak mempunyai tambahan biaya untuk
perpanjangan waktu.[27]
Pada
dasarnya orang yang menggadaikan (rahin) hartanya di kantor pegadaian untuk
mendapatkan pinjaman uang dapat melunasi pinjamannya kapan saja, tanpa harus
menunggu jatuh tempo. Namun, pemberi gadai (rahin) dapat memilih cara pelunasan
sekaligus atau mencicil utangnya. Oleh karena itu, bila masa 4 (empat) bulan
telah sampai, tetapi rahin belum melunasi pinjamannya maka dapat
mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pinjaman selama 4 bulan, tetapi
jika dalam jangka waktu yang ditetapkan rahin tidak mengambil harta
benda yang menjadi jaminan (marhun) maka pegadaian syariah akan melakukan
pelelangan atau penjualan barang gadai.[28]
Pihak
pegadaian melakukan pelelangan harta benda yang menjadi jaminan pinjaman
bila rahin tidak dapat melunasi pinjaman sampai batas waktu yang
telah ditentukan dalam akad. Pelelangan dilakukan oleh pihak pegadaian sesudah
memberitahukan kepada rahin paling lambat 5 hari sebelum tanggal penjualan.
Pemberitahuan tersebut dapat melalui surat pemberitahuan masing-masing alamat
atau melalui telepon dan lainnya.[29]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat
ditarik kesimpulan, bahwa pegadaian konvensional dan pegadaian syariah secara
umum tidak ada perbedaan dari sisi peminjam. Hanya saja, bunga yang dikenakan
pada pegadaian konvensional, diganti dengan biaya penitipan pada pegadaian
syariah. bedanya di pegadaian konvensional dikenakan bunga, yang biasa disebut
jasa uang, sedangkan di syariah mereka tidak bisa mengenakan bunga atau jasa
uang. Sedangkan pegadaian syariah mendapatkan keuntungan dari penitipan barang
gadaian tersebut. Tempat penitipan inilah yang dibayar jasanya. Jadi ada jasa
penitipan barang.
Daftar Pustaka
Buku:
Andri
Soemitro, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2010.
Ismail
Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalila Indonesia,
2012.
Kasmir, Bank
dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Zainuddin
Ali, Hukum Gadai Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Internet:
http://nerynhaulfa.wordpress.com/2013/05/09makalah-pegadaian-syariah-vs-pegadaian-konvensional/ html.
[1]http://accaounting-media.blogspot.com/2013/05/pengertian-dan-aktivitas-usaha-pegadaian.html. diakses hari
Jum’at 04 oktober 2013, pukul 20.50 wita.
[23]http://nerynhaulfa.wordpress.com/2013/05/09makalah-pegadaian-syariah-vs-pegadaian-konvensional/ html.
diakses pada hari Sabtu 05 oktober 2013 pukul 21.30 wita.
[26]http://nerynhaulfa.wordpress.com/2013/05/09makalah-pegadaian-syariah-vs-pegadaian-konvensional/ html,
op.cit.
0 Komentar:
Post a Comment