Sponsor

Sunday, September 3, 2017

Makalah Landasan hukum akad ariyah dan ji’alah

BAB I 
PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang
   Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi. Agama islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam segala hal, salah satunya yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala hal tentang masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu fiqih mualamah. Dalam hubungan sesama manusia, kita pasti sudah mengetahui bahwa ada salah satu akad yaitu ji’alah. Akad ji’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan. Selain itu hidup dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan kehidupan dan tanpa kita sadari pula kita melakukan yang namanya Ariyah (pinjam-meminjam).Pinjam meminjam kita lakukan baik itu barang, uang ataupun lainnya. Terlebih saat ini banyak kejadian pertikaian ataupun kerusuhan di masyarakat dikarenakan pinjam meminjam. Dan tidak heran kalau hal ini menjadi persoalan setiap masyarakat dan membawanya ke meja hijau. Hal ini terjadi dikarenakan ketidak fahaman akan hak dan kewajiban terhadap yang dipinjamkan. Dari paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk lebih dalam lagi membahas tentang apa itu sebenarnya akad ji’alah dan áriyah yang telah ada sejak zaman dahulu ini.  
B. Rumusan Masalah 
1. Apa definisi dari akad ariyah dan ji’alah ? 
2. Bagaimana Landasan hukum akad ariyah dan ji’alah ? 
3. Apa rukun dan syarat ariyah dan ji’alah ? 
4. Bagaimana penjelasan masalah dan pendapat-pendapat ulama fiqih ? 
C. TUJUAN 
1. Agar mahasiswa mengetahui dan mehamai definisi dari akad ariyah dan ji’alah. 
2. Agar mahasiswa mengetahui dan mehamai Landasan hukum akad ariyah dan ji’alah. 
3. Agar mahasiswa mengetahui dan mehamai biografi Al-Hallaj beserta ajarannya. 
4. Agar mahasiswa mengetahui dan mehamai penjelasan masalah dan pendapat-pendapat ulama fiqih. 

BAB II 
PEMBAHASAN 
‘ARIYAH DAN JIÁLAH 
 A. ‘ARIYAH 
 1. Pengertian Akad 
   ‘Ariyah Ariyyah atau ‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi (lughat) dengan beberapa macam makna, yaitu: 
     1. ‘Ariyah adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara bergiliran antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan memakai artinya perkataan at tadaawul. 
     2. ‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan itu diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan. 
      3. ‘Ariyah adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar kata ‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat. Secara terminologi Al Ariyah ialah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang sah dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan kepadanya peminjaman dilakukan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama. Itulah makna perkataan ‘Ariyah yang shahih dan pengambilannya. Sedangkan pengertiannya dalam terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini terdapat perincian beberapa madzhab : 
         • Madzhab Maliki (Al Malikiyah) 
          ‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu yang dipinjam. Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh: meminjamkan/memberikan hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa ongkos. Atau manfaat bajak untuk membajak tanah pada masa yang ditentukan.Maka pemberian hak memiliki manfaat tersebut dinamakan ‘Ariyah (meminjamkan).  
       • Madzhab Hanafi (Al Hanafiyah) ‘Ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara cuma-cuma.Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘Ariyah adalah “membolehkan” bukan “memberikan hak milik”. Pendapat ini tertolak dari dua segi, yaitu: 
              a. Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan memberikan hak milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan kecuali dengan tujuan meminjam pengertian memberikan hak milik. 
                b. Bahwasannya orang yang meminjam boleh meminjamkan sesuatu yang ia pinjam kepada orang lain jika sesuatu tersebut tidak akan berbeda penggunaannya dengan perbedaan orang yang menggunakan baik dari segi kekuatan atau kelemahannya. Seandainya meminjamkan itu hanya membolehkan, maka orang yang meminjam tidak sah meminjamkan kepada orang lain. 
           • Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah) Perjanjian meminjamkan ialah membolehkan mengambil manfaat dari orang yang mempunyai keahlian melakukan derma dengan barang yang halal diambil manfaatnya dalam keadaan barangnya masih tetap utuh untuk dikembalikan kepada orang yang melakukan kesukarelaan. Misalnya adalah Ani meminjamkan buku fiqh (halal diambil manfaatnya) kepada Lina (orang yang berkeahlian melakukan amal sukarela), maka sahlah ani untuk meminjamkan buku fiqh tersebut kepada Lina.          • Madzhab Hambali (Al Hanabilah) ‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak dengan tanpa imbalan ongkos. Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman.Istilah ‘ariyah merupakan nama atas sesuati yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi, pengertian ‘ariyah adalah “Kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan.” 

 2. Dasar Hukum 
 …….. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa : 58) Asbabun Nuzul ayat : Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa setelah fathul Makkah, Rasulullah SAW memanggil Utsman bin Talhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman datang menghadap Rasul untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Al Abbas seraya berkata : “Ya Rasulullah, demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku. Saya akan merangkap jabatan itu dengan jabatan urusan pengairan”.Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah :”Berikanlah kunci itu kepadaku, wahai Utsman !” Utsman berkata : “Inilah dia amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan kemudian keluar untuk thawaf di baitullah.Lalu turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kepada Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca surat An Nisa’ ayat 58 “Barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan.” (H.R. Abu Daud) “Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya).” (H.R. Bukhari dan Muslim) ‘Ariyah atau i’arah merupakan perbuatan qurban (pendekatan diri kepada Allah) dan dianjurkan berdasarkan Alqur’an dan Sunnah. Menurut Sayyid Sabiq, ‘Ariyah adalah sunnah, sedangkan menurut al-Ruyani, bahwa ‘ariyah hukumnya wajib. Adapun landasan hukumnya dari nash Alqur’an dalam Surat Al-Maidah ayat 2: “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berta siksa-Nya.” Disamping Al qur’an, dasar hukum ‘ariyah juga terdapat dalam sunnah Rasulallah SAW, antara lain: Hadis Shafwan bin Umayyah: “dari Shafwan bin Umayyah bahwa Nabi SAW meminjam darinya pada saat perang Hunain beberapa baju perang, maka berkata Shafwan: “Apakah anda merampas hai Muhammad?” Nabi bersabda: “Bukan, melainkan pinjaman yang ditanggungkan,” Berkata Shafwan: “sebagian dari baju perang tersebut hilang,” maka Nabi menyodorkan kepadanya untuk menggantinya. Maka Shafwan berkata: “Saya pada hari ini lebih senang kepada islam.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud) &rd÷=Îgy$ )Î<n# #${FBt»Zu»MÏ ?èsxŠr#( &rb ƒt'ùBãã.äNö #$!© )Îb* ….. ( “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah : 2) 4 ru#$9øèãôruºbÈ #$}MOøOÉ ãt?n ?sèy$ruRçq#( ruwŸ ( ru#$9G­)øqu3 #$9ø9ÉŽhÎ ãt?n ru?sèy$ruRçq#( ¢‘Ariyah Adapun dasar hukum diperbolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis sebagai berikut: ……

3. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
 Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan. Menurut Syafi’ah, rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut: 
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “Saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata”Saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli. 
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Musta’ir yaitu orang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah: a. Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil; b. Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila; c. Orang tersebut tida dimahjur (di bawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh orang berada di bawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros. 
3. Benda yang dipinjamkan. Pada rukun yang ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu: a. Materi yang dipinjamkan dapat di manfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang materi nya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimnapn padi. b. Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh Syara’, seperti meminjam benda-benda najis. Syarat-syarat ‘ariyah berkaitan dengan rukun yang telah dikemukakan diatas, yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, barang/benda yang dipinjamkan. Adapun syarat-syart al-‘ariyah itu diperinci oleh para ulama fiqh sebagai berikut : 
1. Mu’ir (orang yang meminjamkan) Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya atau pemilik yang berhak menyerahkannya. Orang yang berakal dan cakap bertindak hukum.Anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan. 
2. Mus’tair (orang yang menerima pinjaman) a. Baligh b. Berakal c. Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros. Hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan. 
3. üMu’ar (benda yang dipinjamkan)  ü Pemanfaatan itu dibolehkan oleh syara’ (tolong menolong dalam hal kebaikan), maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’.Misalnya kendaraan yang dipinjam harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan syara’, seperti bersilaturahmi, berziarah dan sebagainya.Dan apabila kendaraan tersebut digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam dicela oleh syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah. üMateri yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang mu’arnya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.  üManfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjamnya bukan miliknya. Dia hanya diizinkan mengambilnya tetapi membagikan manfaat yang boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan. Misalnya dia meminjam rumah selama 1 bulan tetapi hanya ditempati selama 15 hari, maka sisanya boleh diberikan kepada orang lain.  üJenis barang yang apabila diambil manfaatnya bukan yang akan habis atau musnah seperti rumah, pakaian, kendaraan. Bukan jenis barang yang apabila diambil manfaatnya akan habis atau musnah seperti makanan.  Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak). 
4. Barang yang dipinjam syaratnya : Ada manfaatnya. Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya).Oleh sebab itu makanan yang setelah diambil manfaatnya menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan. 
5. Aqad, yaitu ijab qabul. Pinjam-meinjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya.Pinjam-meminjam juga berakhir apabila salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila.Barang yang dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam-meinjam bukan merupakan perjanjian yang tetap. Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dan yang meminjam barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang meminjam dikuatkan dengan sumpah.Hal ini didasarkan pada hukum asalnya, yaitu belum dikembalikan. 
4. Pendapat Ulama Mengenai ‘Ariyah Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut madzhab Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.. Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pemilik kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak. B. JI’ALAH 5. Pengertian Akad Jiálah Akad ji’alah, ju’l atau ju’liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan menurut para ahli hukum, akad ji’alah dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji’alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak.Sedangkan menurut syara’, akadji’alah adalah komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.[1] Ji’alah boleh juga diartikan sebagai sesuatu yang mesti diartikan sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya terdapat suatu jaminan, meskipun jaminan itu tidak dinyatakan, ji’alah dapat diartikan pula upah mencari benda-benda hilang. Ji’alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau (ja’l) kepada orang yang telah melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan yang tersesat (dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok, mejahit pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ji’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Ulama Malikiyah mendefinisikan akad ji’alah sebagai akad sewa atas manfaat yang diduga dapat tercapai. Hal ini seperti perkataan seseorang, “Barang siapa yang bisa mengembalikan binatang tunggangan saya yang kabur atau lari, atau barang milik saya yang hilang, atau yang bisa mengurus kebun saya ini, atau menggali sumur untuk saya hingga saya menemukan air, atau menjahit baju atau kemeja untuk saya, maka dia akan mendapatkan sekian. Di antara contoh akad ji’alah adalah hadiah yang khusus diperuntukan bagi orang-orang berprestasi, atau para pemenang dalam sebuah perlombaan yang diperbolehkan atau bagian harta rampasan perang tertentu diberikan oleh panglima perang kepada orang yang mampu menembus benteng musuh, atau dapat menjatuhkan pesawat-pesawat. Termasuk didalam akad ji’alah juga, komitmen membayar sejumlah uang pada dokter yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, atau pada guru yang bisa membimbing anaknya menghapal Al-Qur’an.Para fuqaha biasa memberikan contoh untuk akad ini dengan kasus orang yang dapat mengembalikan binatang tunggangan yang tersesat atau hilang dan budak yang lari atau kabur. 6.  “Mereka menjawab, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban onta dan aku jamin itu.”(Yusuf: 72). Juga berdasarkan hadits yang menceritakan tentang orang yang mengambil upah atas pengobatan dengan surah al-Fatihah, yang diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam Nasa’i dari Abu Sa’id Al-Khudri.Diriwayatkan bahwa beberapa orang sahabat Rasulullah sampai pada satu kampung badui tapi mereka tidak dijamu.Pada saat demikian tiba-tiba kepala suku badui disengat kalajengking. Penduduk kampung itu pun bertanya, “apakah di antara kalian ada yang bisa mengobati?”.Para sahabat menjawab, “kalian belum menjamu kami.Kami tidak akan melakukannya kecuali jika kalian memberi kami upah.” Maka mereka menyiapkan sekawanan domba.Lalu seorang sahabat membaca surah al-fatihah dan mengumpulkan air ludahnya kemudian meludahkannya sehingga kepala suku itu pun sembuh.Penduduk kampung itu pun lalu memberi domba yang dijanjikan kepada para sahabat.Para sahabat itu berkata, “kami tidak akan mengambilnya hingga kami tanyakan dahulu kepada Rasulullah.” Kemudian sahabat itu menanyakan hal tersebut kepada rasulullah, maka beliau pun tertawa dan berkata,“tidakkah kalian tahu? Surah al-fatihah itu adalah obat.Ambilah domba itu dan berikan kepadaku satu bagian.” Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad ji’alah, yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akad ji’alah ini, seperti untuk mengembalikan binatang yang hilang, budak yang lari atau kabur, dan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri.Maka boleh mengeluarkan upah seperti akat ijarah danmudaÈËÐÇ yãÏŠOÒ /ÎmϾ ru&rRt$O /tèύŽ9 q¿H÷@ã /ÎmϾ `y%!äu ru9ÏJy` #$9øJy=Î7Å ¹ßqu#ít Rtÿø)Éß %s$9äq#(Dasar Hukum Ji’alah Menurut ulama Hanafiah, akad ji’alah tidak dibolehkan karena di dalanya terdapat unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya. Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan adanya kejelasan dalam pekerjaan,pekerja itu sendiri, upah dan waktunya. Akan tetapi, mereka hanya membolehkan−dengan dalil istihsan−memberikan hadiah kepada orang yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa syarat.Jumlah hadiah itu sebesar empat puluh dirham untuk menutupi biaya selama perjalanan. Jika dia mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut, maka hadiah disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan banyaknya perjalanan.Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak perjalanan dua hari, maka dia mendapat upah dua pertiganya; dan bila mengembalikannya dalam jarak perjalanan satu hari, maka dia mendapat upah sepertiganya. Barang siapa yang dapat mengembalikannya kurang dari satu hari atau menemukannya di daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan kadar pekerjaannya. Sebab, untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat mengembalikan budak kepada pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah tersebut adalah sebuah cara bagi pemiliknya untuk menjaga hartanya. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alahdibolehkan dengan dalil firman Allah dalam kisah nabi Yusuf as.bersama saudara-saudaranya. >rabah, hanya saja pekerjaan dan waktu yang belum jelas dalam ji’alah tidak merusak akad itu, berbeda halnya dengan ijarah. Hal itu kareana akad ji’alah sifatnya tidak mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan memerlukan kepastian waktu untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan digunakan. Selain itu, karena akad ji’alah adalah sebuah keringanan (rukhshah) berdasarkan kesepakatan ulama, karena mengandung ketidakjelasan, dan dibolehkan karena ada izin dari Allah. Dari pemaparan landasan hukum tentang ji’alah diatas dapat di ambil beberapa poin penting, yaitu: 1. Ji’alah adalah akad yang diperbolehkan. Jadi kedua belah pihak diperbolehkan membatalkannya.Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai, maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan terjadi di tengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja brhak mendapatkan upah atas pekerjaan. 2. Dalam ji’alah, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika seseorang berkata, “Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia mendapatkan hadiah satu dinar, “maka orang yang berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati ia menemukannya setelah sebulan atau setahun. 3. Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagi secara merata antara mereka. 4. Ja’alah tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi seseorang tidak boleh berkata, “Barangsiapa menyanyi, atau memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan ja’alah (hadiah) sekian.” 5. Barangsiapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau menerjakan suatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalau di dalamnya terdapat ji’alah (hadiah), ia tidak berhak atas ja’alah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara sukarela sejak awal. Jadi ia tidak berhak mendapatkan ja’alah tersebut kecuali jika ia berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuanya maka ia diberi ji’alah sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut. 6. Jika seseorang berkata, “Barangsiapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas ji’alah (hadiah), “maka ji’alah seperti itu diperbolehkan, kecuali jika ia berkata, “Barangsiapa makan dan ia meninggalkan sebagian dari makanan tersebut, ia berhak atas ji’alah,” makaji’alah tidak sah. 7. Jika pemilik ja’alah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya ji’alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik ja’alah dengan disuruh bersumpah. Jika kedua berbeda pendapat tentang pokok ji’alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah. 7. Rukun dan Syarat Ji’alah Ada beberapa rukun dan syarat ji’alah yaitu: 1. Lafadh, hendaklah dipergunakan lafadh yang jelas dan mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan juga tidak ditentukan waktunya. 2. Orang yang menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh juga orang yang lain yang mendapat persetujuan dari orang yang kehilangan. 3. Pekerjaan, yaitu mencari barang yang hilang. 4. Upah, disyaratkan keadaan upah dengan barang/benda yang tertentu. Kalau yang kehilangan itu berseru kepada umum: “Barangsiapa yang mendapat barang/bendaku, akan saya beri uang sekian. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu secara bersama-sama, maka upah yang dijanjikan itu berserikat antara keduanya (dibagi-bagikan). 8. Pendapat Ulama Mengenai Ji’alah Para ulama berselisih pendapat tentang larangan dan kebolehan ji’alah. Imam malik berpendapat bahwa pengupahan itu dibolehkan pada sesuatu yang sedikit (ringan) dengan dua syarat. pertama: Tidak ditentukan masanya. Kedua: Upahnya diketahui. Fuqaha yang membolehkan pengupahan berpegang kepada firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72 tersebut, dan juga berpegang kepada ijma ‘jumhur fuqaha’ tentang kebolehan pengupahan berkenaan dengan larinya hamba dan permintaan. Begitu juga dengan sabda Rasulallah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah kecuali imam Nasa’I dari Abu Sa’id al-Khudri. Suatu ketika sahabat Rasulallah mendatangi sebuah perkampungan, namun mereka tidak dilayani layaknya tamu, tiba-tiba pemimpin mereka terserang penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk menyembuhkannya. Sahabat Rasul mengiya-kan dengan catatan mereka diberi upah. Syarat ini disetujui, kemudian seorang sahabat membaca Al-Fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari Rasulallah, maka Rasulallah tersenyum melihat atas laporan kejadian itu. Tidak diperselisihkan lagi dalam madzhab Maliki, bahwa upah itu bisa dimiliki kecuali apabila pekerjaan telah selesai, dan bahwa pengupahan itu tidak termasuk akad (perjanjian) yang mengikat. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengupahan itu tidak boleh. Fuqaha yang tidak membolehkan pengupahan beralasan bahwa di dalam pengupahan itu terdapat kesamaran (al gharar), karena disamakan dengan sewa-menyewa yang lain. Yakni, ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan. Hal ini ketika dianalogikan dengan akad ijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian ulama’ Hanafiyah yang membolehkannya, dengan dasar istihsan (karena ada nilai manfaat).


0 Komentar:

Post a Comment

bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online