BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama
terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang segala
aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju
terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah
dimuka planet bumi. Agama islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam
segala hal, salah satunya yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala
hal tentang masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu fiqih mualamah. Dalam
hubungan sesama manusia, kita pasti sudah mengetahui bahwa ada salah satu akad
yaitu ji’alah. Akad ji’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah
pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu
menyelesaikan maka ia berhak mendapat hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah
bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau
perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan. Selain itu hidup
dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan ekonomi dalam
kehidupan sehari-hari.Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan kehidupan dan
tanpa kita sadari pula kita melakukan yang namanya Ariyah
(pinjam-meminjam).Pinjam meminjam kita lakukan baik itu barang, uang ataupun
lainnya. Terlebih saat ini banyak kejadian pertikaian ataupun kerusuhan di
masyarakat dikarenakan pinjam meminjam. Dan tidak heran kalau hal ini menjadi
persoalan setiap masyarakat dan membawanya ke meja hijau. Hal ini terjadi
dikarenakan ketidak fahaman akan hak dan kewajiban terhadap yang dipinjamkan.
Dari paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk lebih dalam lagi membahas
tentang apa itu sebenarnya akad ji’alah dan áriyah yang telah ada sejak zaman
dahulu ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari akad ariyah
dan ji’alah ?
2. Bagaimana Landasan hukum akad
ariyah dan ji’alah ?
3. Apa rukun dan syarat ariyah
dan ji’alah ?
4. Bagaimana penjelasan masalah
dan pendapat-pendapat ulama fiqih ?
C. TUJUAN
1. Agar mahasiswa mengetahui dan
mehamai definisi dari akad ariyah dan ji’alah.
2. Agar mahasiswa mengetahui dan
mehamai Landasan hukum akad ariyah dan ji’alah.
3. Agar mahasiswa mengetahui dan
mehamai biografi Al-Hallaj beserta ajarannya.
4. Agar mahasiswa mengetahui dan
mehamai penjelasan masalah dan pendapat-pendapat ulama fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
‘ARIYAH DAN JIÁLAH
A. ‘ARIYAH
1. Pengertian Akad
‘Ariyah Ariyyah atau
‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi (lughat) dengan beberapa macam
makna, yaitu:
1. ‘Ariyah
adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara bergiliran
antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan memakai
artinya perkataan at tadaawul.
2. ‘Ariyah
adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan itu
diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
3. ‘Ariyah
adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar kata
‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat. Secara terminologi Al
Ariyah ialah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di
gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang sah
dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan kepadanya peminjaman
dilakukan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama. Itulah makna perkataan
‘Ariyah yang shahih dan pengambilannya. Sedangkan pengertiannya dalam
terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini terdapat perincian beberapa madzhab
:
• Madzhab Maliki (Al Malikiyah)
‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama
bagi sesuatu yang dipinjam. Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat
yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh: meminjamkan/memberikan
hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa
ongkos. Atau manfaat bajak untuk membajak tanah pada masa yang ditentukan.Maka
pemberian hak memiliki manfaat tersebut dinamakan ‘Ariyah (meminjamkan).
•
Madzhab Hanafi (Al Hanafiyah) ‘Ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat
secara cuma-cuma.Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘Ariyah adalah “membolehkan”
bukan “memberikan hak milik”. Pendapat ini tertolak dari dua segi, yaitu:
a. Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah
dengan ucapan memberikan hak milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan
kecuali dengan tujuan meminjam pengertian memberikan hak milik.
b. Bahwasannya orang yang meminjam boleh
meminjamkan sesuatu yang ia pinjam kepada orang lain jika sesuatu tersebut
tidak akan berbeda penggunaannya dengan perbedaan orang yang menggunakan baik
dari segi kekuatan atau kelemahannya. Seandainya meminjamkan itu hanya
membolehkan, maka orang yang meminjam tidak sah meminjamkan kepada orang
lain.
• Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah) Perjanjian meminjamkan ialah
membolehkan mengambil manfaat dari orang yang mempunyai keahlian melakukan
derma dengan barang yang halal diambil manfaatnya dalam keadaan barangnya masih
tetap utuh untuk dikembalikan kepada orang yang melakukan kesukarelaan.
Misalnya adalah Ani meminjamkan buku fiqh (halal diambil manfaatnya) kepada
Lina (orang yang berkeahlian melakukan amal sukarela), maka sahlah ani untuk
meminjamkan buku fiqh tersebut kepada Lina. •
Madzhab Hambali (Al Hanabilah) ‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu
barang yang diambil dari pemiliknya atau pemilik manfaatnya untuk diambil
manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak dengan tanpa imbalan
ongkos. Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman.Istilah ‘ariyah merupakan
nama atas sesuati yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi, pengertian
‘ariyah adalah “Kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu
imbalan.”
2. Dasar Hukum
…….. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa : 58) Asbabun
Nuzul ayat : Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa setelah fathul Makkah,
Rasulullah SAW memanggil Utsman bin Talhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika
Utsman datang menghadap Rasul untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Al Abbas
seraya berkata : “Ya Rasulullah, demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku. Saya
akan merangkap jabatan itu dengan jabatan urusan pengairan”.Utsman menarik
kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah :”Berikanlah kunci itu kepadaku,
wahai Utsman !” Utsman berkata : “Inilah dia amanat dari Allah”. Maka
berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan kemudian keluar untuk thawaf di
baitullah.Lalu turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan
kepada Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca surat An
Nisa’ ayat 58 “Barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan.” (H.R.
Abu Daud) “Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang
adalah zalim (berbuat aniaya).” (H.R. Bukhari dan Muslim) ‘Ariyah atau i’arah
merupakan perbuatan qurban (pendekatan diri kepada Allah) dan dianjurkan
berdasarkan Alqur’an dan Sunnah. Menurut Sayyid Sabiq, ‘Ariyah adalah sunnah,
sedangkan menurut al-Ruyani, bahwa ‘ariyah hukumnya wajib. Adapun landasan
hukumnya dari nash Alqur’an dalam Surat Al-Maidah ayat 2: “Dan tolong
menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat berta siksa-Nya.” Disamping Al qur’an, dasar hukum
‘ariyah juga terdapat dalam sunnah Rasulallah SAW, antara lain: Hadis Shafwan
bin Umayyah: “dari Shafwan bin Umayyah bahwa Nabi SAW meminjam darinya pada saat
perang Hunain beberapa baju perang, maka berkata Shafwan: “Apakah anda merampas
hai Muhammad?” Nabi bersabda: “Bukan, melainkan pinjaman yang ditanggungkan,”
Berkata Shafwan: “sebagian dari baju perang tersebut hilang,” maka Nabi
menyodorkan kepadanya untuk menggantinya. Maka Shafwan berkata: “Saya pada hari
ini lebih senang kepada islam.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud) &rd÷=Îgy$ )Î<n# #${FBt»Zu»MÏ ?èsxr#( &rb t'ùBãã.äNö #$!©
)Îb
•* ….. ( “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah : 2) 4 ru#$9øèãôruºbÈ #$}MOøOÉ
ãt?n ?sèy$ruRçq#( ruw
( ru#$9G)øqu3 #$9ø9ÉhÎ ãt?n ru?sèy$ruRçq#(
¢‘Ariyah Adapun dasar hukum
diperbolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadis-hadis sebagai berikut: ……
3. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun
‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup
dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum
ijab kabul dengan ucapan. Menurut Syafi’ah, rukun ‘ariyah adalah sebagai
berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh),
seperti seseorang berkata, “Saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang
menerima berkata”Saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya
adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang
mengutangkan (berpiutang) dan Musta’ir yaitu orang menerima utang. Syarat bagi
mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi
mu’ir dan musta’ir adalah: a. Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak
kecil; b. Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang
tidur dan orang gila; c. Orang tersebut tida dimahjur (di bawah curatelle),
maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh orang berada di bawah perlindungan
(curatelle), seperti pemboros.
3. Benda yang dipinjamkan. Pada
rukun yang ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu: a. Materi yang dipinjamkan
dapat di manfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang materi nya tidak dapat
digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat
digunakan untuk menyimnapn padi. b. Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal
‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh Syara’, seperti
meminjam benda-benda najis. Syarat-syarat ‘ariyah berkaitan dengan rukun yang
telah dikemukakan diatas, yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam,
barang/benda yang dipinjamkan. Adapun syarat-syart al-‘ariyah itu diperinci
oleh para ulama fiqh sebagai berikut :
1. Mu’ir (orang yang meminjamkan)
Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya atau pemilik yang berhak
menyerahkannya. Orang yang berakal dan cakap bertindak hukum.Anak kecil dan
orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.
2. Mus’tair (orang yang menerima
pinjaman) a. Baligh b. Berakal c. Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah
curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.
Hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil dan orang
gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima
kebaikan.
3. üMu’ar
(benda yang dipinjamkan) ü Pemanfaatan itu
dibolehkan oleh syara’ (tolong menolong dalam hal kebaikan), maka batal ‘ariyah
yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’.Misalnya kendaraan
yang dipinjam harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan
syara’, seperti bersilaturahmi, berziarah dan sebagainya.Dan apabila kendaraan
tersebut digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam dicela oleh
syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah. üMateri yang dipinjamkan
dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang mu’arnya tidak dapat digunakan,
seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk
menyimpan padi. üManfaat barang yang dipinjamkan
dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa
karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan
zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang
dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjamnya bukan miliknya. Dia hanya
diizinkan mengambilnya tetapi membagikan manfaat yang boleh diambilnya kepada
yang lain, tidak ada halangan. Misalnya dia meminjam rumah selama 1 bulan
tetapi hanya ditempati selama 15 hari, maka sisanya boleh diberikan kepada
orang lain. üJenis barang yang apabila diambil
manfaatnya bukan yang akan habis atau musnah seperti rumah, pakaian, kendaraan.
Bukan jenis barang yang apabila diambil manfaatnya akan habis atau musnah
seperti makanan. Sewaktu diambil
manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak).
4. Barang yang dipinjam syaratnya
: Ada manfaatnya. Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil
manfaatnya).Oleh sebab itu makanan yang setelah diambil manfaatnya menjadi
habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan.
5. Aqad, yaitu ijab qabul.
Pinjam-meinjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya
dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya.Pinjam-meminjam juga
berakhir apabila salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila.Barang
yang dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam-meinjam bukan
merupakan perjanjian yang tetap. Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang
meminjamkan dan yang meminjam barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau
belum, maka yang dibenarkan adalah yang meminjam dikuatkan dengan sumpah.Hal
ini didasarkan pada hukum asalnya, yaitu belum dikembalikan.
4. Pendapat Ulama Mengenai
‘Ariyah Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan
benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya
jika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian
pinjaman. Menurut madzhab Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman
atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung,
kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliyah
menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.. Jika peminjam suatu
benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak
ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang
diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta
jaminan kepada pemilik kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu
rusak. B. JI’ALAH 5. Pengertian Akad Jiálah Akad ji’alah, ju’l atau ju’liyah
secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan
kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu, atau juga
diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan
pekerjaan tertentu. Dan menurut para ahli hukum, akad ji’alah dapat dinamakan
janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji’alah adalah
akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak.Sedangkan menurut syara’,
akadji’alah adalah komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan
tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.[1] Ji’alah boleh juga
diartikan sebagai sesuatu yang mesti diartikan sebagai pengganti suatu
pekerjaan dan padanya terdapat suatu jaminan, meskipun jaminan itu tidak
dinyatakan, ji’alah dapat diartikan pula upah mencari benda-benda hilang.
Ji’alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau (ja’l) kepada orang yang
telah melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan yang
tersesat (dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok, mejahit
pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah. Menurut Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, ji’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama
kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh
pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Ulama Malikiyah mendefinisikan
akad ji’alah sebagai akad sewa atas manfaat yang diduga dapat tercapai. Hal ini
seperti perkataan seseorang, “Barang siapa yang bisa mengembalikan binatang tunggangan
saya yang kabur atau lari, atau barang milik saya yang hilang, atau yang bisa
mengurus kebun saya ini, atau menggali sumur untuk saya hingga saya menemukan
air, atau menjahit baju atau kemeja untuk saya, maka dia akan mendapatkan
sekian. Di antara contoh akad ji’alah adalah hadiah yang khusus diperuntukan
bagi orang-orang berprestasi, atau para pemenang dalam sebuah perlombaan yang
diperbolehkan atau bagian harta rampasan perang tertentu diberikan oleh
panglima perang kepada orang yang mampu menembus benteng musuh, atau dapat
menjatuhkan pesawat-pesawat. Termasuk didalam akad ji’alah juga, komitmen
membayar sejumlah uang pada dokter yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu,
atau pada guru yang bisa membimbing anaknya menghapal Al-Qur’an.Para fuqaha biasa
memberikan contoh untuk akad ini dengan kasus orang yang dapat mengembalikan
binatang tunggangan yang tersesat atau hilang dan budak yang lari atau kabur.
6. “Mereka menjawab, ‘Kami kehilangan
piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan
makanan seberat) beban onta dan aku jamin itu.”(Yusuf: 72). Juga berdasarkan
hadits yang menceritakan tentang orang yang mengambil upah atas pengobatan
dengan surah al-Fatihah, yang diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam Nasa’i dari
Abu Sa’id Al-Khudri.Diriwayatkan bahwa beberapa orang sahabat Rasulullah sampai
pada satu kampung badui tapi mereka tidak dijamu.Pada saat demikian tiba-tiba
kepala suku badui disengat kalajengking. Penduduk kampung itu pun bertanya,
“apakah di antara kalian ada yang bisa mengobati?”.Para sahabat menjawab,
“kalian belum menjamu kami.Kami tidak akan melakukannya kecuali jika kalian
memberi kami upah.” Maka mereka menyiapkan sekawanan domba.Lalu seorang sahabat
membaca surah al-fatihah dan mengumpulkan air ludahnya kemudian meludahkannya
sehingga kepala suku itu pun sembuh.Penduduk kampung itu pun lalu memberi domba
yang dijanjikan kepada para sahabat.Para sahabat itu berkata, “kami tidak akan
mengambilnya hingga kami tanyakan dahulu kepada Rasulullah.” Kemudian sahabat
itu menanyakan hal tersebut kepada rasulullah, maka beliau pun tertawa dan
berkata,“tidakkah kalian tahu? Surah al-fatihah itu adalah obat.Ambilah domba
itu dan berikan kepadaku satu bagian.” Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga
menguatkan dibolehkannya akad ji’alah, yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut
diadakannya akad ji’alah ini, seperti untuk mengembalikan binatang yang hilang,
budak yang lari atau kabur, dan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan
sendiri.Maka boleh mengeluarkan upah seperti akat ijarah danmudaÈËÐÇ yãÏOÒ /ÎmϾ ru&rRt$O /tèÏ9
q¿H÷@ã
/ÎmϾ `y%!äu ru9ÏJy`
#$9øJy=Î7Å ¹ßqu#ít Rtÿø)Éß %s$9äq#(Dasar
Hukum Ji’alah Menurut ulama Hanafiah, akad ji’alah tidak dibolehkan karena di
dalanya terdapat unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan
waktunya. Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan
adanya kejelasan dalam pekerjaan,pekerja itu sendiri, upah dan waktunya. Akan
tetapi, mereka hanya membolehkan−dengan dalil istihsan−memberikan hadiah kepada
orang yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak
perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa syarat.Jumlah hadiah itu
sebesar empat puluh dirham untuk menutupi biaya selama perjalanan. Jika dia
mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut, maka hadiah
disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan banyaknya
perjalanan.Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak perjalanan dua
hari, maka dia mendapat upah dua pertiganya; dan bila mengembalikannya dalam
jarak perjalanan satu hari, maka dia mendapat upah sepertiganya. Barang siapa
yang dapat mengembalikannya kurang dari satu hari atau menemukannya di
daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan kadar pekerjaannya. Sebab,
untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat mengembalikan budak kepada
pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah tersebut adalah sebuah cara bagi
pemiliknya untuk menjaga hartanya. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah
dan Hanabilah, akad ji’alahdibolehkan dengan dalil firman Allah dalam kisah
nabi Yusuf as.bersama saudara-saudaranya. >rabah, hanya saja pekerjaan dan
waktu yang belum jelas dalam ji’alah tidak merusak akad itu, berbeda halnya
dengan ijarah. Hal itu kareana akad ji’alah sifatnya tidak mengikat, sedangkan
akad ijarah mengikat dan memerlukan kepastian waktu untuk mengetahui jumlah
manfaat yang akan digunakan. Selain itu, karena akad ji’alah adalah sebuah
keringanan (rukhshah) berdasarkan kesepakatan ulama, karena mengandung
ketidakjelasan, dan dibolehkan karena ada izin dari Allah. Dari pemaparan
landasan hukum tentang ji’alah diatas dapat di ambil beberapa poin penting,
yaitu: 1. Ji’alah adalah akad yang diperbolehkan. Jadi kedua belah pihak
diperbolehkan membatalkannya.Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai,
maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan terjadi di
tengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja brhak mendapatkan upah atas
pekerjaan. 2. Dalam ji’alah, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika
seseorang berkata, “Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia
mendapatkan hadiah satu dinar, “maka orang yang berhasil menemukannya berhak
atas hadiah tersebut kendati ia menemukannya setelah sebulan atau setahun. 3.
Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagi secara merata antara
mereka. 4. Ja’alah tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi seseorang
tidak boleh berkata, “Barangsiapa menyanyi, atau memukul si Fulan, atau
memakinya, ia mendapatkan ja’alah (hadiah) sekian.” 5. Barangsiapa menemukan
barang tercecer, atau barang hilang, atau menerjakan suatu pekerjaan dan
sebelumnya ia tidak mengetahui kalau di dalamnya terdapat ji’alah (hadiah), ia
tidak berhak atas ja’alah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer
tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara sukarela sejak awal. Jadi
ia tidak berhak mendapatkan ja’alah tersebut kecuali jika ia berhasil menemukan
budak yang melarikan diri dari tuanya maka ia diberi ji’alah sebagai balas budi
atas perbuatannya tersebut. 6. Jika seseorang berkata, “Barangsiapa makan dan
minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas ji’alah (hadiah), “maka ji’alah
seperti itu diperbolehkan, kecuali jika ia berkata, “Barangsiapa makan dan ia
meninggalkan sebagian dari makanan tersebut, ia berhak atas ji’alah,”
makaji’alah tidak sah. 7. Jika pemilik ja’alah dan pekerja tidak sependapat
tentang besarnya ji’alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik
ja’alah dengan disuruh bersumpah. Jika kedua berbeda pendapat tentang pokok
ji’alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja dengan disuruh
bersumpah. 7. Rukun dan Syarat Ji’alah Ada beberapa rukun dan syarat ji’alah
yaitu: 1. Lafadh, hendaklah dipergunakan lafadh yang jelas dan mengandung arti
izin kepada yang akan bekerja dan juga tidak ditentukan waktunya. 2. Orang yang
menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh juga orang yang lain yang
mendapat persetujuan dari orang yang kehilangan. 3. Pekerjaan, yaitu mencari
barang yang hilang. 4. Upah, disyaratkan keadaan upah dengan barang/benda yang
tertentu. Kalau yang kehilangan itu berseru kepada umum: “Barangsiapa yang
mendapat barang/bendaku, akan saya beri uang sekian. Kemudian dua orang bekerja
mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu secara bersama-sama,
maka upah yang dijanjikan itu berserikat antara keduanya (dibagi-bagikan). 8.
Pendapat Ulama Mengenai Ji’alah Para ulama berselisih pendapat tentang larangan
dan kebolehan ji’alah. Imam malik berpendapat bahwa pengupahan itu dibolehkan
pada sesuatu yang sedikit (ringan) dengan dua syarat. pertama: Tidak ditentukan
masanya. Kedua: Upahnya diketahui. Fuqaha yang membolehkan pengupahan berpegang
kepada firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72 tersebut, dan juga berpegang
kepada ijma ‘jumhur fuqaha’ tentang kebolehan pengupahan berkenaan dengan
larinya hamba dan permintaan. Begitu juga dengan sabda Rasulallah dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah kecuali imam Nasa’I dari Abu
Sa’id al-Khudri. Suatu ketika sahabat Rasulallah mendatangi sebuah
perkampungan, namun mereka tidak dilayani layaknya tamu, tiba-tiba pemimpin
mereka terserang penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk
menyembuhkannya. Sahabat Rasul mengiya-kan dengan catatan mereka diberi upah.
Syarat ini disetujui, kemudian seorang sahabat membaca Al-Fatihah, maka
akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi
sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari Rasulallah, maka Rasulallah
tersenyum melihat atas laporan kejadian itu. Tidak diperselisihkan lagi dalam
madzhab Maliki, bahwa upah itu bisa dimiliki kecuali apabila pekerjaan telah
selesai, dan bahwa pengupahan itu tidak termasuk akad (perjanjian) yang
mengikat. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengupahan itu tidak boleh.
Fuqaha yang tidak membolehkan pengupahan beralasan bahwa di dalam pengupahan
itu terdapat kesamaran (al gharar), karena disamakan dengan sewa-menyewa yang
lain. Yakni, ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan.
Hal ini ketika dianalogikan dengan akad ijarah yang mensyaratkan adanya
kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian
ulama’ Hanafiyah yang membolehkannya, dengan dasar istihsan (karena ada nilai
manfaat).
0 Komentar:
Post a Comment