BAB I
PENDAHULUAN
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Kementerian Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan, warits yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat dan fikih mawarits
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan dan warits , mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan dan warits tersebut baik menurut hukum agamaatau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat dan fikih mawarits atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
I. MUNAKAHAT
A. DEFINISI NIKAH
Nikah atau perkawinan adalah akad (ijab dan qobul) yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Pernikahan harus dilakukan untuk membina kehidupan rumah tangga (suami istri) yang sah, dalam kaitan ini terdapat persyaratan dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Keabsahan perkawinan merupakan azas pokok terciptanya masyarakat yang baik dan sempurna, oleh karena sebenarnya perka- winan merupakan pertalian yang sangat kokoh dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan anak turunnya, tetapi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya, bahkan antara satu suku/bangsa dengan suku/bangsa lainnya
B. HUKUM NIKAH
Hubungan yang baik dalam setiap keluarga dan juga dengan keluarga lainnya, merupakan landasan terciptanya suatu masyarakat yang baik dan saling bekerja sama, hidup tenteram dan aman, sejahtera dan bahagia lahir bathin di dunia maupun di akhirat. Dilihat dari motif terjadinya pernikahan, maka dalam Islam ada lima hukum nikah, yaitu :
a. Jaiz, artinya boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar dari pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang mendorong terjadinya pernikahan menyebabkan adanya hukum-hukum nikah berikut.
b. Sunat, yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk menikah serta memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun bathin.
c. Wajib, yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan terjerumus dalam perzinahan bila tidak segera kawin.
d. Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah. Allah swt. berfirman :
e. Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
C. TUJUAN NIKAH
Pernikahan dalam Islam bukanlah sekedar penyaluran nafsu (libido) dan usaha melestarikan keberadaan manusia di muka bumi, akan tetapi memiliki tujuan yang sangat esensial dalam hidup dan kehidupan manusia, tujuan dimaksud adalah :
a. Untuk memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup
Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu perasaan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” QS. Ar Rum : 21
Ayat di atas memberikan pedoman bahwa dilaksanakannya pernikahan itu, guna mewujudkan adanya ketenteraman dan kebahagiaan hidup khususnya dalam kehidupan keluarga, dan untuk itulah maka Allah swt. menganugerahkan perasaan kasih dan sayang diantara keduanya.
b. Untuk membentengi diri dari perbuatan tercela. Setiap manusia normal secara fitrah akan mengalami suatu masa puber, mulai merasa tertarik terhadap lawan jenisnya. Islam sebagai Agama Fitroh memberikan jalan keluar dengan disyari’atkannya pernikahan, sehingga perasaan yang selalu menuntut pemenuhan ini tersalurkan dengan baik dan benar. Dengan menikah manusia akan dapat terhindar dari perbuatan tercela berupa zina dan lain-lain. Nabi saw. bersabda :
Artinya : “Sesungguhnya dengan nikah itu, dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan (kemaluan)”. HR. Bukhari Muslim.
Perbuatan zina merupakan sumber malapetaka bagi manusia, disamping akibatnya yang sangat tercela dan berbahaya, biasanya bila seseorang terjerumus ke dalam perbuatan zina maka akan terjerumus pula dalam perjudian dan minuman keras, sebab ketiga jenis dosa ini sebenarnya merupakan satu paket.
c. Untuk menjaga dan memperoleh keturunan yang baik dan sah. Setelah terjadinya pernikahan kemudian pada gilirannya setiap manusia akan mengalami kerinduan akan hadirnya anak, sebagai perwujudan adanya sifat kebapakan dan keibuan yang timbul dari seorang laki-laki dan perempuan. Dalam kaitan ini pernikahan lebih banyak diharapkan akan memberikan keturunan akan tetapi keturunan yang baik dan sah secara hukum. Perhatikan firman Allah swt. berikut :
tûïÏ%©!$#ur šcqä9qà)tƒ $oY/u‘ ó=yd $oYs9 ô`ÏB $uZÅ_ºurø—r& $oYÏG»ƒÍh‘èŒur no§è% &úãüôãr& $oYù=yèô_$#ur šúüÉ)FßJù=Ï9 $·B$tBÎ) ÇÐÍÈ
Artinya : “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. QS. Al Furqon : 74
d. Mengikuti sunnah Rasul dan meningkatkan ketaqwaan. Rasulullah saw. pernah mencela terhadap seseorang yang bertekat untuk berpuasa, dan bangun (tidak tidur) setiap hari guna konsentrasi beribadah serta bertekad tidak akan menikah. Beliau bersabda :
Artinya : “Akan tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka serta aku menikahi perempuan, maka barang siapa tidak suka akan sunnahku (caraku), maka bukanlah ia golonganku”. HR. Muttafaq Alaih
Dengan menikah maka berarti telah melaksanakan setengah dari agama, Nabi saw. bersabda :
Artinya : “Bila telah menikah seorang hamba Allah, maka sesungguhnya ia menyem-purnakan separuh dari agamanya, maka bertaqwalah kepada Allah dalam (untuk menyempurnakan) separuh yang tersisa”.
D. RUKUN NIKAH DAN SYARAT-SYARATNYA
Rukun nikah yaitu unsur-unsur yang harus ada pada saat dilangsungkannya suatu pernikahan, dan unsur-unsur tersebut telah memenuhi persyaratan tertentu. Apabila salah satu rukun tidak terpenuhi atau tidak memenuhi persyaratan maka pernikahan menjadi tidak sah dan harus diulang, perhatikan tabel berikut :
No
|
Rukun Nukah
|
Syarat sah
|
1
|
Calon Suami
|
a. Beragama Islam
b. Atas kemauan sendiri
c. Bukan mahram calon istri
d. Tiddak sedang ihram (haji/umrah)
|
2
|
Calon Istri
|
a. Beragama Islam
b. Atas kemauan sendiri
c. Bukan mahram calon suami
d. Tidak ada masa iddah
e. Tiddak sedang ihram (haji/umrah)
|
3
|
Wali (dari calon istri)
|
a. Beragama Islam
b. Dewasa (baligh)
c. Berakal sehat (aqil)
d. Laki-laki
e. Merdeka (bukan budak)
f. Adil (tidak fasiq)
g. Tidak sedang ihram (haji/ umrah )
|
4
|
Dua orang saksi
|
Sama dengan persyaratan wali, kecuali g.
|
5
|
Sighat aqad
(Ijab Qabul)
|
a. Ijab yaitu perkataan dari wali mempelai perempuan, seperti : Saya nikahkan engkau dengan anak saya.... dengan maskawin ....
b. Qabul yaitu jawaban dari mempelai laki- laki, seperti : Saya terima menikahi..... dengan maskawin.....
c. Ucapan ijab qabul harus jelas dan beruntun tidak berselang waktunya (diselingi perka taan lain sebelum qabul)
|
Penjelasan :
a. Tidak sah suatu pernikahan tanpa izin dari wali
b. Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali dan saksi
c. Dalil Al Qur’an tentang masalah wali :
* $pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#rä‹Ï‚Gs? yŠqåkuŽø9$##“t»|Á¨Z9$#ur uä!$u‹Ï9÷rr& ¢ öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4`tBur Nçl°;uqtGtƒ öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw“ωôgtƒ tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÊÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang Yahudi dan Nasrani untuk menjadi Wali”. QS. Al Maidah : 51
Urut-Urutan Yang Berhak Menjadi Wali Dalam Suatu Pernikahan adalah:
1. Ayah kandung, kakek terus ke atas
2. Saudara laki-laki sekandung
3. Saudara laki-laki seayah
4. Anaklaki-laki dari no. 2 dan terus ke bawah
5. Anak laki-laki dari no. 3 terus ke bawah
6. Saudara laki-laki dari ayah yang sekandung
7. Saudara laki-laki dari ayah yang seayah
8. Anak laki-laki dari no. 6
9. Anak laki-laki dari no. 7 Bila kesembilan macam wali tersebut di atas tidak ada semua, maka yang menjadi wali dari mempelai wanita adalah penguasa atau hakim yang kemudian disebut dengan “Wali Hakim”.
Muhrim/mahram adalah orang-orang yang tidak boleh (haram) dinikahi, mereka adalah :
1. Haram dinikahi karena sebab hubungan keturunan, yaitu :
§ Ibu kandung, nenek (dari ayah/ ibu) dan terus ke atas
§ Anak perempuan, cucu, cicit dan seterusnya ke bawah
§ Saudara perempuan (sekandung, sebapak atau seibu saja)
§ Saudara perempuan dari bapak
§ Saudara perempuan dari ibu
§ Anak perempuan dari saudara laki-laki dan terus ke bawah
§ Anak perempuan dari saudara perempuan dan terus ke bawah.
2. Haram dinikahi karena sebab hubungan susuan , yaitu :
§ Ibu yang menyusui
§ Saudara perempuan sesusuan
3. Haram dinikahi karena sebab hubungan perkawinan, yaitu :
§ Ibu dari istri (mertua)
§ Istri anak (menantu), baik sudah dicerai apalagi belum
§ Anak tiri (perempuan) , apabila sudah bercampur dengan ibunya
§ Istri bapak (ibu tiri), baik sudah dicerai atau belum
§ Saudara perempuan dari istri dan bibi dari istri (saudara perempuan dari ayah atau ibu istri), kecuali bila sudah bercerai dengan istri.
E. KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Seorang istri diharuskan menunaikan kewajibannya yang merupakan hak suami demikian pula sebaliknya, sehingga dalam kehidupan suami istri akan terjalin hubungan timbal balik yang baik, dengan kata lain masing-masing harus berupaya untuk menunaikan kewajibannya secara optimal. Dalam Buku Kompilasi Hukum, telah diatur tentang kewajiban suami istri, yang pokok- pokoknya sebagai berikut :
a. Kewajiban suami
1. Wajib memberikan nafkah, pakaian dan tempat kediaman serta biaya rumah tangga sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anaknya.
2. Memimpin, memberi perlindungan dan ketenteraman guna terwujudnya keluarga sakinah, bahagia sejahtera
3. Bergaul dengan istri dan anak-anaknya dengan cara yang makruf, yaitu sesuai dengan kaidah akhlaqul karimah
4. Memberikan pendidikan dan bimbingan kepada anak dan istrinya untuk selalu bertaqwa dan meningkatkan taqwanya
5. Memberikan nafkah dan kediaman kepada bekas istri selama masa iddah
6. Kewajiban suami pada istri gugur, apabila istri nusyuz. Dasar dari kewajiban di atas adalah ayat-ayat Al Qur’an dan hadis, diantaranya :
Artinya : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka . . . “. QS. An Nisa’ : 34
Yang perlu mendapatkan perhatian, bahwa kelebihan laki-laki dari wanita bukan berarti laki-laki lebih mulia dari wanita, akan tetapi karena kelebihan itulah yang menimbulkan kewajiban seperti tersebut di atas.
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. QS. At Tahrim : 6
Sabda Rasulullah saw. :
Artinya : “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya karena mengambil mereka dengan kepercayaan Allah dan halal mencampuri mereka dengan kalimat Allah dan diwajibkan atas kamu (para suami) memberikan nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik (sesuai kemampuan)”. HR. Muslim
b. Kewajiban Istri Kewajiban istri merupakan hak suami, begitu juga sebaliknya. Adapun kewajiban istri antara lain :
1. Kewajiban utama bagi istri adalah berbakti lahir bathin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh agama.
2. Mengatur dan menyelenggarakan keperluanrumah tangga sehari-hari sebaik-baiknya bersama anggota keluarga yang lain.
3. Menjaga dan memelihara kehormatan diri, keluarga, suami dan harta benda suami terutama bila suami tidak di rumah.
4. Sesuai dengan kemampuannya, membantu tugas-tugas suami terutama dalam menciptakan keluarga yang taqwallah.
Penjelasan
1. Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban suami istri, sangatlah bijaksana bila memperha-tikan dan mempertimbangkan ayat berikut : Artinya : “Dan para wanita (istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. QS. Al Baqarah : 228
2. Suami istri harus selalu bekerja sama dalam mewujudkan tujuan perka- winan, terutama di dalam menciptakan kemesraan di atas sajadah sebagai wujud dari ketaqwaannya kepada Allah swt.
F. TALAK (Perceraian)
1. Pengertian Talak
Pengertian Talak menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan, sedangkan yang dimaksud di sini adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak atau perkataan lain yang senada dengan maksud talak. Bila problem keluarga tidak dapat diatasi, maka akan menjadi sumber konflik yang kemudian bisa meningkat pada percekcokan yang berkepanjangan. talak hanya dapat dilaksanakan jika keadaan sudah sangat memaksa dan usaha lain sudah tidak dapat diharapkan dapat menyelesaikannya.
2. Hukum Talak.
Dalam Agama Islam, hukum asal talak adalah makruh, yaitu boleh tapi tidak disukai oleh Allah swt, hal ini berdasar hadis Nabi saw :
Yang artinya : “Perbuatan halal yang sangat dimurkai oleh Allah adalah talak”. HR.Abu Daud dan Ibnu Majah.
Bila memperhatikan situasi dan kondisinya serta kemaslahatan dan kemudlaratan talak, maka hukum asal tersebut dapat menjadi :
· Wajib, yaitu bila perselisihan sudah memuncak dan hakim memandang perlu untuk talak.
· Sunnat, bila suami sudah tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya dengan layak, atau bila istri tidak dapat menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
· Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haidh, atau ketika istri suci setelah adanya hubungan suami istri.
3. Lafadl dan Bilangan Talak.
Kalimat atau lafadl talak bisa berupa ungkapan lisan (ucapan) atau secara tertulis dengan menggunakan kata-kata yang sharih (terang) atau kinayah (sindiran).
a. Sharih (terang), yaitu kalimat yang jelas tujuannya, seperti : “saya talak engkau” atau “saya ceraikan engkau.” Dengan ungkapan yang jelas ini maka jatuhlah talak tersebut, baik disertai dengan niat ataupun tidak.
b. Kinayah (sindiran), yaitu kata-kata yang tidak jelas maksudnya atau meragukan, seperti kata suami : “Pergilah engkau dari sini atau pulanglah engkau ke rumah orang tuamu” Perkataan suami di atas bila dengan niat mentalak maka jatuhlah talaknya, akan tetapi bila tidak disertai dengan niat mentalak maka tidaklah jatuh talak. Terhadap seorang istri, suami berhak menjatuhkan talak maksimal 3 kali, dengan klasifikasi berikut :
a) Talak Raj’i, yaitu talak yang pertama dan kedua. Setelah terjadinya talak raj’i ini suami berhak untuk rujuk (kembali) kepada istrinya selagi masih dalam masa iddah atau kawin kembali setelah masa iddahnya habis.
b) Talak Ba’in,dibedakan menjadi talak Ba’in Sughro atau Kubro. Talak Ba’in Sughro (asghar) adalah talak yang menyebabkan hilangnya hak suami untuk rujuk ketika istri masih dalam iddah, akan tetapi boleh mengadakan akad nikah baru meskipun dalam massa iddah. Talak jenis ini adalah : Talak yang terjadi Qabla al dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ serta talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama Talak Bain Kubro (akbar) yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, yang menyebabkan hilangnya hak suami untuk rujuk kembali ketika (bekas) istri masih dalam masa iddah atau tidak boleh mengadakan akad nikah baru kecuali (bekas) bila istri sudah dinikahi oleh laki-laki lain dan telah talak Ba’da ad dukhul serta telah habis masa iddahnya.
G. IDDAH
1. Pengertian Iddah
Iddah berarti ketentuan, yaitu ketentuan masa menunggu yang diwajibkan atas perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai biasa maupun cerai mati. Selama masa iddah bekas istri tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, sebab ia masih menjadi hak bekas suaminya, disamping itu untuk memastikan apakah selama iddah itu ia hamil atau tidak. Dan bila ternyata ia hamil maka anak yang dikandungnya itu sah sebagai anak dari suami yang menceraikannya.
2. Manfaat adanya masa iddah
a) Untuk mengetahui dengan pasti berisi atau tidaknya kandungan perempuan tersebut.
b) Untuk memberi kesempatann berfikir kepada bekas suami istri itu, apakah keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk maka hal itu merupakan jalan yang sangat baik.
3. Ketentuan-ketentuan Masa Iddah
1. Bagi istri yang dicerai qabla ad dukhul (belum dikumpuli oleh suami), maka baginya tidak ada masa iddah dan suami disunatkan memberikan mut’ah (pemberian yang dapat menyenangkan hati bekas istri). Dan bekas istri boleh langsung kawin dengan laki-laki lain begitu selesai dicerai oleh suaminya.
2. Bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Sedangkan bila ditinggal oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka menurut jumhur ulama masa iddahnya sampai melahirkan anaknya.
3. Bagi istri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan anaknya 4. Bagi istri yang dicerai, sedang ia masih dalam keadaan normal haidnya, maka iddahnya tiga kali quru’ (tiga kali suci
4. Bagi istri yang diicerai dalam keadaan tidak haid lagi, baik karena menopause (usia lanjut) atau karena masih kecil atau sudah dewasa tapi tidak pernah haid, maka iddahnya adalah tiga bulan
4. Hak-hak istri selama dalam masa iddah.
a) Perempuan yang dalam masa iddah Raj’i atau yang ditalak dalam keadaan hamil (baik talak Rij’i maupun ba’in) maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, dan belanja dari mantan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an : Artinya : “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri yang sudah ditalak) itu wanita-wanita yang sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirklan anaknya. QS. At Thalaq : 6.
Dalam sebuah hadits, Nabi saw. bersabda :
Artinya : “Bahwa perempuan yang berhak mengambil nafkah dan tempat tinggal adalah apabila suaminya itu berhak rujuk kepadanya”. HR. Ahmad dan Nasa’i.
b) Wanita yang dicerai dengan talak ba’in sughro atau kubro, atau juga karena talak tebus (khulu’), maka baginya hanya mempunyai hak tempat tinggal saja dan tidak yang lainnya.
c) Istri yang dalam masa iddah wafat, ia hanya mendapat hak waris, walaupun sedang hamil.
H. RUJUK
1. Pengertian Ruju’
Ruju’ artinya kembali, yaitu bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis masa iddahnya. Ruju’ hanya boleh dilakukan dalam masa iddah talaq raj’i (talak satu atau dua), dan tidak diperlukan akhad nikah baru karena akad lama sebenarnya belum seutuhnya terputus. Perhatikan firman Allah swt. berikut:
Artinya : “.... dan suami-suami mereka berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa iddah), jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah ..”. QS. Al Baqarah : 228.
2. Hukum Ruju’
Pada dasarnya hukum ruju’ adalah boleh (jaiz) kemudian berkembang seperti tersebut di bawah ini :
v Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu dan apabila talak itu dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan.
v Sunnah, yaitu apabila ruju’ itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
v Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian lebih bermanfaat dibanding mereka ruju’ kembali.
v Haram, yaitu apabila dengan adanya ruju’ si istri semakin menderita.
3. Rukun Ruju’
a) Istri, keadaannya disyaratkan : ba’da dukhul, tertentu istri yang akan dirujukinya, ditalak dengan talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
b) Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena dipaksa, Islam dan sehat akal.
c) Sighat atau lafadl atau ucapan ruju’ yaitu ada dua cara :
v Secara terang-terangan, misalnya : “Saya rujuk kepadamu”.
v Secara sindiran, seperti kata suami : “Aku ingin tidur lagi denganmu”. Sighat ini disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti tidak digantungkan dengan sesuatu, misalnya saya ruju’ kepadamu jika bapakmu mau. Ruju’ dengan kalimat seperti di atas hukumnya tidak sah.
4. Beberapa ketentuan rujuk
Rujuk hanya boleh dilakukan apabila akan membawa kemaslahatan bagi istri dan anak-
Rujuk hanya dapat dilakukan jika perceraian baru terjadi satu atau dua kali.
Rujuk hanya dapat dilakukan sebelum masa iddahnya habis
I. ILA’, LI’AN, DLIHAR DAN KHULU’
1. Ila’
Ila’ adalah sumpah seorang suami dengan menyebut nama Allah swt. bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya lebih dari empat bulan, atau tanpa menyebutkan lamanya.
Apabila seorang suami mengila’ istrinya, maka bagi seorang suami ada dua pilihan :
a. Suami supaya kembali (mencampuri) kepada istrinya sebelum lewat masa empat bulan dan wajib membayar kifarat (denda) sumpah.
b. Apabila masa 4 bulan itu sudah terlewati, maka bagi suami wajib memilih antara kembali baik dengan istrinya dengan membayar kifarat sumpahnya, atau menceraikan istrinya. Dan jika suami tidak mau memilih salah satunya, maka hakim berhak menceraikan istrinya dengan paksa, dan perceraian akibat ila’ ini termasuk talak bain sughro (baik berdasar kemauan suami ataupun karena putusan hakim).Sebagian ulama’ berpendapat bahwa bila sampai 4 bulan suami tidak mau kembali (campur) maka dengan sendirinya bagi istri jatuh talak bain.
Perhatikan surat Al Baqarah ayat 226-227
2. Li’an
Li’an adalah sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berzina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir, sedangkan istri menolak tuduhan tersebut.
v Contoh sumpah suami adalah :
Saya bersumpah dengan nama Allah, Wallahi bahwa sesungguhnya saya benar dengan tuduhan saya bahwa istri saya yang bernama . . . (sambil ditunjuk) telah berbuat “zina” dan bahwa anak yang sedang/ telah dikandung/ dilahirkannya bukan anak saya. Ucapan sumpah tersebut harus diulangi sampai 4 kali, kemudian dilanjutkan dengan perkataan kelima yaitu : Atas saya laknat Allah swt, apabila saya berdusta dalam tuduhan ini.
Apabila seorang suami telah mengucapkan kalimat li’an tersebut,maka berlakulah beberapa hukum di bawah ini :
a) Suami bebas dari had hukuman menuduh zina (dicambuk 80 kali)
b) Istri wajib dihukum dengan had zina (dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun atau dirajam bila ia muhshan)
c) Suami istri bercerai selama-lamanya.
d) Bila ada anak, anak itu bernasab hanya pada ibunya dan tidak ada hubungan nasab dengan ayahnya (ayah yang meli’an ibunya).
Seorang istri yang terli’an dapat menolak tuduhan suaminya sehingga ia terbebas dari hukuman had zina, penolakan tersebut berupa sumpah empat kali.
v Contoh sumpah penolakan istri adalah :
Saya bersumpah dengan nama Allah, Wallahi bahwa suamiku . . . yang menuduhkan berzina adalah dusta semata (diulang sampai 4 kali). Kemudian dengan ucapan yang kelima : bahwa atasku la’nat Allah swt. jika suamiku berkata benar. Dengan adanya sumpah penolakan istri ini maka konsekwensi hukumnya adalah :
a) Gugur atas istri hukuman had zina
b) Apabila ada anak, maka anak tersebut sah bernasab pada ayahnya. Untuk pelaksanaan di Indonesia, dalam Kompilasi hukum Islam di Indonesia pasal 128 disebutkan bahwa : Li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang pengadilan Agama.
Dasar-dasar tentang li’an ini diantaranya dalam surat An Nur ayat 6-9.
3. Dlihar
Dlihar, adalah perkataan seorang suami yang menyerupakan istrinya dengan punggung ibunya, seperti kata suami “Engkau bagiku nampak seperti punggung ibuku”
Dalam adat jahiliyah, mendlihar sama halnya dengan mentalak istri, cara ini dapat juga terjadi di zaman Islam, seperti yang menimpa pada Khaulah binti Tsa’labah yang didlihar suaminya Aus bin Tsamit. Kebiasaan ini kemudian diharamkan dalam syari’at Islam seperti yang disebutkan dalam surat Al Mujadilah ayat 1 - 4.
Bagi seorang suami yang terlanjur melakukannya dan kemudian tidak mentalak istrinya, maka wajib membayar kifarat dan haram mencampuri istrinya sebelum mengeluarkan kifaratnya.
4. Khulu’
Khulu’ artinya talak tebus, yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan adanya pembayaran iwad (tebusan) dari istri kepada suami.
Perceraian semacam ini dibolehkkan apabila terdapat sebab atau illat yang dibenarkan oleh syari’at Islam, seperti yang tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 229 dan atau pasal 116, 133, 134 dan 135.Perceraian cara khulu’ ini termasuk talak ba’in sughro.
J. FASAKH
Fasakh yaitu rusaknya hubungan pernikahan antara suami istri karena :
1. Sebab yang merusak aqad nikah, misalnya :
v Setelah diadakan pernikahan secara sah kemudian diketahui bahwa istri tersebut merupakan muhrim dari suaminya.
v Salah seorang dari suami istri tersebut murtad (keluar dari ajaran Islam).
v Pasangan yang semula sama-sama musyrik, kemudian salah satu atau keduanya masuk Islam.
2. Terdapat sebab-sebab yang menghalangi tujuan pernikahan, seperti :
v Adanya penipuan dalam pernikahan tersebut, semula suami menga- ku orang baik-baik kemudian diketahui ternyata seorang penjahat.
v Suami atau istri mengidap penyakit/ cacat yang dapat mengganggu hubungan suami dan istri.
v Suami dihukum/ dipenjara selama lima tahun atau lebih.
v Suami dinyatakan hilang.
K. HADANAH
Hadanah adalah hak untuk mengasuh, memelihara, mendidik, memimpin serta mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan anak kecil yang belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya).
L. HIKMAH PERKAWINAN
a) Menjauhkan diri dari perbuatan tercela (zina).
b) Ketenteraman dan ketenangan hidup
c) Terpelihara dari perbuatan tercela dan maksiat .
d) Melestarikan dan memelihara keturunan.
e) Hidup Bahagia Dunia Akhirat.
II. MAWARITS
1. Definisi
Al-miirats (الميراث) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar(infinitif) dari kata (وَرِثَ يَرِثُ إِرْثًا وَمِيْرَاثًا) waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
وَوَرِثَسُلَيْمَانُ دَاوُودَ
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ
"... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
العُلَمَاءُ ْوَرَثَةُ الأَنْبِيَاءَ
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah :berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
· Waris, Hibah dan Wasiat
Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam beberapa halnya, yaitu waris, hibah dan wasiat.Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita seringkali kesulitan saat membedakannya.
Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.
WARIS
|
HIBAH
|
WASIAT
| |
Waktu
|
Setelah wafat
|
Sebelum wafat
|
Setelah wafat
|
Penerima
|
Ahli waris
|
ahli waris &
bukan ahli waris
|
bukan ahli waris
|
Nilai
|
Sesuai faraidh
|
Bebas
|
Maksimal 1/3
|
Hukum
|
wajib
|
Sunnah
|
Sunnah
|
· Waktu
Dari segi wattu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya (muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta itu meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta itu.
Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya masih hidup.Bedanya, kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu.Sedangkan washiyat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia meninggal dunia.
· Penerima
Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena hijab hirman.Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris.Penerima washiyat harus seorang yang bukan termasuk penerima harta waris.Karena ahli waris sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima lewat jalur washiat.
Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli waris dan bukan ahli waris.Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.
· Nilai
Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu faraidh.
Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga 2/3.Ada juga para ahli waris dengan status menerima ashabah, yaitu menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para ashabul furudh.Dan ada juga yang menerima lewat jalur furudh dan ashabah sekaligus.
Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan. Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari almarhum sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk membela kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal yang diharamkan.
Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3, maka kelebihannya itu harus dibatalkan.
· Hukum
Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan sepeninggal muwarrits, karena merupakan salah satu kewajiban atas harta.
Sedangkan memberikan washiyat hukumnya hanya sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah hukumnya sunnah.
2. Istilah-istilah dalam ilmu waris
A. Tarikah
Tarikah, (تركة) kadang dibaca tirkah, adalah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya.
Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
B. Fardh
Fardh (فرض) adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris yang telah ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3.1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3.Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai bilangan fardh.
Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya, apabila suaminya punya keturunan.Atau mendapat 1/4 bagian bila suaminya tidak punya keturunan.
C. Ashhabul Furudh.
Ashabul furudh (أصحاب الفروض) sesuai dengan namanya, berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-orang yang mendapat waris secara fardh.Mereka adalah ahli waris yang punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya.Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan lainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta suami.Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat 1/4 dari harta suami.
Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya, sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri. Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari harta istri.Tapi kalau istri tidak punya anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri.
Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta muwarristnya.
D. Ashabah
Istilah ashabaha (عصبة) berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta yang diterima oleh ahli waris, yang besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh.
Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen.Tergantung seberapa banyak harta yang diambil oleh ahli waris ashhabul furudh.Kalau jumlah mereka banyak, maka bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka sedikit, biasanya ashahabnya menjadi besar.
Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris ashabah dari ayahnya yang meninggal dunia.Ibunya adalah ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta suaminya. Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu 1 – 1/8 = 7/8.
E. Sahm
Sahm (سهم) adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan kepada setiap ahli waris yang berasal dari asal masalah.Atau disebut juga jumlah kepala mereka.
F. Nasab
Nasab (نسب) adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke atasnya seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya.Hubugnan ke atas ini disebut abuwwah.Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah (keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak dari anaknya (cucu) dan seterusnya.Hubngan ini disebut bunuwwah.
G. Al-Far'u
Istilah (الفرع) bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah anak laki-laki atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan.Bila disebut Al-far'ul-warists maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak tersebut ke bawahnya.
H. Al-Ashl
Yang dimaksud dengan istilah al-ashl (الأصل) adalah ayah kandung dan ibu kandung, juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek).Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.
3. Rukun, Syarat dan Sebab Warisan
A. Rukun Waris
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris.Bila salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan al-mauruts. Lebih rincinya :
a) Al-Muwarits
Al-Muwarrits (المُوَرِّث) sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang memberikan harta warisan.Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris. Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara.Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.
b) Al-Warits
Al-Warits (الوَارِث) sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
c) Harta Warisan
Harta warits (المَوْرُوث) adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.Sedangkan harta yang bukan milik pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan.
Misalnya, harta bersama milik suami istri.Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang milik istri.Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris.Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan.
B. Syarat Waris
Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk sebuah pewarisan.Bilamana salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga:
1. MeninggalnyaMuwarrits
Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal secara hukum.
· Meninggal secara hakiki
Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
· b. Meninggal secara hokum
Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan.
Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia.
· Bagi Waris Sebelum Meninggal
Ada fenomena lucu yang terjadi di tengah masyarakat, yaitu membagi-bagi harta waris sebelum muwarritsnya meninggal dunia.Malah, justru si muwarrits itulah yang membagi-bagi.
Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta warisan, manakala seorang muwarrits belum lagi meninggal dunia.
Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya, pada saat dia masih hidup segar bugar.
Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia terlebih dahulu.Jadi memang tidak mungkin seseorang membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya kepada keturunannya.
Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah (pemberian), bukan warisan.Dan hibah itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya.Dan siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.
Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan.Bila seseorang telah menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada hakikatnya dia sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan bila kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya.
Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak untuk mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si anak telah menjadi pemilik sepenuhnya tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada pihak lain. Meski si ayah masih hidup.
Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir untuk memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu namanya washiyat.
Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak tidak boleh menerima washiat berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada washiyat bukan ahli waris.Maka bila hal itu dilakukan juga, hukumnya haram.
Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya hibah.Atau diberikan setelah dia meninggal dan namanya warisan. Dan ketika dibagi secara warisan, aturan pembagiannya telah baku sesuai dengan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta warisan untuk para ahli warisnya.Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah dia meninggal dunia.
2. Hidupnya Ahli Waris
Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki ketika pewaris meninggal dunia.
Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan anak.Istri dan anak itu tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka.Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari kakek.
Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan.Pertama, denganwashiyah wajibah, yaitu si kakek berwashiyat semenjak masih hidup agar cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan warisan melainkan dengan cara washiat.
Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan mereka.
Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghibahkan sebagian hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada saat membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak mendapat apa-apa.
Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup.
Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam.Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
3. Ahli Waris Diketahui
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
C. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
1. Kerabat hakiki
Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia.
Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek lainnya.
2. Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah.Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.
3. Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum.Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah.Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang.Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi.
Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia.Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.
III. ASHABUL FURUDH DAN ASHABAH
A. Ashhabul Furudh
Ashabul furudh adalah para ahli waris yang nilai haknya telah ditetapkan secara langsung dan mendapatkan harta waris terlebih dahulu, sebelum para ashabah.
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu :
§ setengah (1/2)
§ seperempat (1/4)
§ seperdelapan (1/8)
§ dua per tiga (2/3)
§ sepertiga (1/3)
§ seperenam (1/6).
Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.
B. Ashabah
Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak.Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi.
Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:
قَالُواْ لَئِنْأَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا إِذًالَّخَاسِرُونَ
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (QS. Yusuf: 14)
Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan menguatkan.Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah :ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagiannya dengan tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah).Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
a) Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah :
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَاالسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُوَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan.Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3).Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian ayah.
Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah :
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُوَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِنلَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ
Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (QS. An-Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan.
Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya.Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari 'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur.Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata "dzakar".
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:
· 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita),
· 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain)
· 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
1) 'Ashabah bin nafs
'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
a. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
b. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
c. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki.Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
d. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas.Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
2) Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh.Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian.Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.
Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2).Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.
Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat. Hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian, hukum, nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib,makruh,atau haram.
Tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (prig terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.
Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal Faradha, yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Al-Quran, dalam berbagai konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung beberapa makna dasar, yakni suatu ketentuan untuk maskawin, menurunkan Al-Quran, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang diwajibkan, ketetapan yang pasti, dan bahkan di lain ayat ia mengandung makna tidak tua.
Bahwa sisa harta warisan baik setelah ahli waris mendapatkan begiannya maupun karena tidak ada ahli waris, tidak boleh diselesaikan dengan jalan Radd maupun diserahkan kepada Dzawil Arham, tetapi harus diserahkan ke baitul Mal untuk kepentingan umat islam.
B. Saran
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dalam mendapatkan keturunan yang sah dan diantara pernikahan itu terdapat hukum bagi waris karena adanya keterkaitan antara hukum pernikahan dan hukum pembagian warisan.
Maka dari itu, kita harus mengetahui segala sesuatunya, mulai dari hukum nikah dan hukum bagi waris, agar kita tidak sekali-kali bila ada kesalah pahaman di dalam keluarga jangan ada perseteruan terkait dengan dua hal tersebut.
DAPTAR PUSTAKA
Astuti, Dewi. 2009. Fiqh. Surabaya : Imperial Bhakti Utama
Darin. 2007. Fikih Kontemporer. Bandung : Sarana Nusantara
0 Komentar:
Post a Comment