1 . 1. Peradilan Agama di Indonesia
1 .1.1 Kelembagaan Peradilan di Indonesia
Peradilan agama adalah kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah di antara orang-orang islam untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Penyelenggaraan peradilan agama dilaksanakan oleh
pengadilan agama pada tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama pada tingkat
banding. Sedangkan pada tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung,
sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Peradilan agama merupakan peradilan islam di Indonesia, sebagai
salah satu mata rantai peradilan yang tumbuh dan berkembang sejak masa
Rasulullah Saw. Ia merupakan wujud peradilan islam dalam struktur dan kultur
masyarakat-bangsa Indonesia. Identifikasi peradilan agama sebagai Peradilan
Islam dilihat dari sudut pandang filosofis, yuridis, historis, dan sosiologis.
Unsur-unsur peradilan agama meliputi:
(1) kekuasaan Negara yang merdeka
(2) penyelenggara kekuasaan Negara
(3) perkara yang menjadi wewenang
pengadilan
(4) orang-orang yang berperkara, yaitu
pihak-pihak
(5) hukum yang dijadikan rujukan dalam
berperkara
(6) prosedur dalam menerima,
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara
(7) penegakan hukum dan keadilan,
sebagai tujuan.
1 .1.2 Susunan Badan Peradilan Agama di Indonesia
Jenjang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdiri atas
Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama
sebagai pengadilan tingkat banding. Sedangkan pengadilan tingkat kasasi adalah
Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Daerah hukum Pengadilan Agama adalah daerah kota atau kabupaten.
Sedangkan daerah hukum Pengadilan Tinggi Agama adalah daerah propinsi. Namun
demikian, dengan kenyataannya ditemukan lebih dari satu Pengadilan Agama dalam
suatu daerah kabupaten.
Susunan Pengadilan Agama terdiri atas:
1) Pimpinan
2) Hakim Anggota
3) Panitera
4) Sekretaris dan
5) Jurusita.
1 .1.3 Kekuasaan Pengadilan di Indonesia
Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di bidang
perkara perdata tertentu di kalangan orang-orang yang beragama islam
berdasarkan hukum islam. Sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 perkara yang
diterima dan diputus oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama semakin
meningkat. Hal itu menimbulkan konsekuensi penambahan unit pengadilan, jumlah
aparatur, pengorganisasian pengadilan, dan peningkatan sarana dan prasarana
yang dibutuhkan.
Terdapat korelasi positif antara jumlah orang islam di suatu
wilayah propinsi dengan jumlah perkara yang diterima oleh pengadilan dalam
wilayah yang sama. Sedangkan rasio antara jumlah perkara dengan jumlah penganut
agama islam pada masing-masing wilayah beranekaragam.
1 .1.4 Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia
Ulama dan pejabat agama, dua tipe pemimpin Islam, memainkan peranan
yang sangat penting dalam proses islamisasi di Indonesia. Mereka
mengaktualisasikan kepemimpinannya melalui pranata pendidikan dan pranata
politik. Ketika islam menjadi kekuatan politik, yang ditandai dengan
pertumbuhan dan perkembangan kesultanan islam yang memerintah, terjadi suatu
hubungan simbiotik ulama-ulama. Dan pejabat agama yang menjadi subordisasi dari
pusat kekuasaan islam, merupakan peletak dasar pertumbuhan dan perkembangan
peradilan agama .
Pada masa kesultanan Islam, peradilan agama tumbuh dan berkembang
dengan corak yang beraneka ragam. Keanekaragaman itu meliputi posisinya dalam
pusat kekuasaan, struktur dan cakupan kekuasaannya, dan sumber pengambilan
hukum dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya.
Perkembangan peradilan Agama selalu mengalalami pasang surut sejak
dari masa penjajahan Belanda, masa penduduk tentara Jepang, hingga masa
kemerdekaan. Diundangkan dan diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 1989, merupakan
peristiwa paling penting dalam perkembangan peradilan agama. Hal itu ditandai
dengan beberapa perubahan. Salah satu aspek yang terkait dengan perkembangan
peradilan agama, ialah dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam.
2.2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau yang lebih dikenal dengan
singkatan KHES bidang hukum ekonomi syariah (fikih
muamalah). Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, juga turut memperkaya dan
sekaligus memperkuat eksistensi dan posisi keberlakuan/pemberlakuan hukum
syariah di Negara Hukum Indonesia (NHI); sementara pada saat yang bersamaan,
KHES juga sejatinya memberikan energi tersendiri bagi askelerasi atau
percepatan pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Disengaja atau kebetulan,
kehadiran KHES bersaman waktunya dengan pengundangan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, yang menurut
Dr. M. Hasbi Hasan Undang-Undang ini turut memberikan kompetensi kepada
Peradilan Agama dalam menangani perkara (sengketa) ekonomi syariah.
KHES di Negara Indonesia yang nyata-nyata beragama dan
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dengan jumlah penduduk muslim terbesar di seluruh
dunia, tentu akan memberikan martabat (prestasi dan prestise) tersendiri bagi
negeri ini dalam kancah hukum ekonomi dan keuangan syariah seiring dengan
pembukuan dan pembakuan hukum ekonomi dan keuangan syariah yang juga
tumbuh dan berkembang di berbagai belahan negara lain di hampir segenap penjuru
dunia.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
SUBJEK HUKUM DAN AMWAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Kompilasi ini yang dimaksud dengan :
1. Ekonomi syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukanoleh
orang perorang, kelompok orang, badan usaha yangberbadan hukum atau tidak
berbadan hukum dalam rangkamemenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan
tidakkomersial menurut prinsip syariah.
2. Subyek hukum adalah orang perseorangan, persekutuan, ataubadan
usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadanhukum yang memiliki kecakapan
hukum untuk mendukunghak dan kewajiban.
3. Kecakapan hukum adalah kemampuan subyek hukum untuk melakukan
perbuatan yang dipandang sah secara hukum.
4. Anak adalah seseorang yang berada di bawah umur 18 tahun yang
dipandang belum cakap melakukan perbuatan hukum atau belum pernah menikah.
5. Pewalian adalah kewenangan yang diberikan kepada wali untuk
melakukan perbuatan hukum atas nama dan untuk kepentingan muwalla.
6. Muwalla adalah seseorang yang belum cakap melakukan perbuatan
hukum, atau badan usaha yang dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
7. Wali adalah seseorang atau kurator badan hukum yang ditetapkan
oleh pengadilan untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan, untuk kepentingan terbaik bagi muwalla.
8. Pengadilan adalah pengadilan/mahkamah syar'iyah dalam lingkungan
peradilan agama.
9. Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan,
dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda yang
terdaftar maupun yang tidak terdaftar, baik benda yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis.
10. Benda berwujud adalah segala sesuatu yang dapat diindra.
11. Benda tidak berwujud adalah segala sesuatu yang tidak dapat
diindera.
12. Benda bergerak adalah segala sesuatu yang dapat dipindahkan
dari suatu tempat ke tempat lain.
13. Benda tidak bergerak adalah segala sesuatu yang tidak dapat
dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya ditentukan
oleh undang-undang.
14. Benda terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya
ditentukan berdasarkan warkat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
15. Benda tidak terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya
ditentukan berdasarkan alat bukti pertukaran atau pengalihan di antara
pihak-pihak.
16. Kepemilikan benda adalah hak yang dimiliki seseorang, kelompok
orang, atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum untuk
melakukan perbuatan hukum.
17. Penguasaan benda adalah hak seseorang, kelompok orang, atau
badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum untuk melakukan
perbuatan hukum, baik miliknya maupun milik pihak lain.
18. Pengusahaan benda adalah hak seseorang atau badan usaha yang
berbadan hukum atau tidak berbadan hukum untuk mendayagunakan benda, baik
miliknya maupun milik pihak lain.
19. Pengalihan hak kebendaan adalah pemindahan hak kepemilikan dari
subjek hukum yang satu ke subjek hukum yang lain.
20. Uang adalah alat tukar atau pembayaran yang sah, bukan sebagai
komoditas.
21. Orang adalah seseorang, orang perorangan, kelompok orang, atau
badan hukum.
BAB II
SUBYEK HUKUM
Bagian Pertama
Kecakapan Hukum
Pasal 2
(1) Seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum dalam hal telah mencapai umur paling rendah 18 (delapan belas)
tahun atau pernah menikah.
(2) Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum,
dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 3
(1) Dalam hal seseorang anak belum berusia 18 (delapan belas) tahun
dapat mengajukan permohonan pengakuan cakap melakukan perbuatan hukum kepada
pengadilan.
(2) Pengadilan dapat mengabulkan dan atau menolak permohonan
pengakuan cakap melakukan perbuatan hukum.
Bagian Kedua
Pewalian
Pasal 4
Orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum berhak mendapat
pewalian.
Pasal 5
(1) Dalam hal seseorang sudah berumur 18 tahun atau pernah menikah,
namun tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka pihak keluarga dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menetapkan wali bagi yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal badan hukum terbukti tidak mampu lagi berprestasi
sehingga menghadapi kepailitan, atau tidak mampu membayar utang dan meminta
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka pengadilan dapat
menetapkan kurator atau pengurus bagi badan hukum tersebut atas permohonan
pihak yang berkepentingan.
2.2.1. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pada Lembaga Perbankan
Syariah
Perbankan yang sejatinya adalah lembaga keungan yang berfungsi
menghimpun, menyalurkan, dan memberikan jasa kepada nasabah-nasabahnya yang
dalam konteks syariah harus secara hukum syariah yaitu tanpa adanya praktek
riba.
Secara khusus perbankan syariah memiliki tujuan antara lain:
a) Mengarahkan kegiatan ekonomi
umat Islam bermuamalah secara Islam
b) Menciptakan keadilan di
bidang ekonomi
c) Meningkatkan kualitas hidup
umat
d) Membantu menanggulangi atau
mengentaskan kemiskinan
e) Turut menjaga kestabilan
ekonomi
f) Menyelamatkan
ketergantungan umat Islam terhadap Baank Konvensional.
Kompetensi Pengadilan Agama
Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari
bahasa Belanda ‘competentie’, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan
‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’. Kekuasaan atau kewenangan peradilan
ini kaitannya adalah dengan hukum acara perdata, sehingga kata tersebut
dianggap semakna.[1]
Menurut amandemen Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1)
UU No.14 Tahun 1970 sebagaimana di ubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan sekarang
diganti dengan Pasal 2 jo Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 jo UU no 48
tahun 2009. Kekuasaan kehakiman (Judicial Power) yang berada dibawah
Mahkamah Agung (MA), dilakukan dan dilaksanakan oleh beberapa lingkungan
peradilan yang terdiri dari:
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer, dan
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Keempat lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah
Agung ini, merupakan penyelenggara kekauasaan negara dibidang yuridikatif. Oleh
karena itu, secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice), dalam
kedudukannya sebagai pengadilan negara (state court). Dengan demikian, Pasal 24
(2) UUD dan Pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU no.4 Tahun 2004 jo UU no 48 tahun
2009 merupakan landasan sistem peradilan negara (state court system) di
Indonesia, yang dibagi dan terpisah berdasarkan yuridiksi atau separation
court system based on juridiction.[2]
Mengenai sistem pemisahan yuridiksi dianggap masih relevan, dasar-dasar
yang dikemukakan dalam penjelasan yuridiksi pasal 10 ayat (1) UU no 14 tahun
1970.
a. Didasarkan pada lingkungan kewenangan.
b. Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan
mengadili.
c. Kewenangan tertentu tersebut menciptan
terjadinya kewenangan absolut atau yuridiksi absolut pada masing-masing
lingkungan sesuai dengan subjek matter or yuridiksen. Oleh karena itu
masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang
dilimpahkan kepadanya. Adapun kewenangan Pengadilan Agama adalah sebagai
berikut.
“PA berdasarkan pasal 49 UU no 7 tahun 1989 jo UU no 3 tahun 2006
jo UU no 50 tahun 2009 tentang peradilan agama. Hanya berwenang mengadili bagi
rakyat yang beragama Islam mengenai perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
A. Kompetensi (Kekuasaan atau Wewenang) Relatif Peradilan
Agama
Kata kekuasaan sering disebut kompetensi yang berasal dari bahasa
BelandaCompetentie, yang sering diterjemahkan dengan kewenangan da kekuasaan.
Kekuasaan atau kewenangan peradilan kaitannya adalah dengan hukum acara
menyangkut dua hal, yaitu kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut.
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu
jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya denga kekuasaan pengadilan yang
sama jenis dan sama tingkatan. Cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan
ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan prundang-undangan.
Daerah hukum Peradilan Agama sebagaimana Pengadilan Negeri meliputi
wilayah kotamadya atau kabupaten. Sedangkan daerah hukum Pengadilan Tinggi
Agama meliputi wilayah provinsi. Dalam pasal 4 ayat (1) dinyatakan, “Pengadilan
Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten”. Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1)
berbunyi “pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kodya atau
kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten,
tetapii tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.
Tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal
ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu
sebagai pengecualian mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti di kabupaten
Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi
transportasi sulit.
Untuk mengetahui yuridiksi agar para pihak tidak salah mengajukan
gugatan atau permohonan yakni ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan
perkaranya dan juga berhubungan dengan hak eksepsi tergugat. Menurut
teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum (tentang tenpat mengajukan
gugatan), apabila penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana
saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa dan
mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak
lawannya. Dan juga boleh penggugat dan tergugat memilih untuk berperkara di
muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati.[3] Pengadilan
Negeri dalam hal ini boleh menerima pendaftaran perkara tersebut disamping
boleh pula menolaknya. Namun dalam praktiknya, Pengadilan Negeri sejak semula
sudah tidak berkenan menerima gugatan/permohonan semacam itu, sekaligus memberikan
saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya gugatan atau permohonan itu
diajukan.
Ketentuan umum Peradilan Umum tersebut berlaku juga untuk Peradilan
Agama sebagaimana ditunjuk oleh Undang-undang no. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Di masa lalu sebelum Peradilan Agama mempunyai kekuasaan
absolut yang seragam di seluruh Indonesia (sebelum Undang-undang no.7 tahun
1989) Peradilan Agama tidak dapat menerima ketentuan umum Peradilan Umum
diatas, sebab suatu jenis perkara misalnya menjadi kekuasaan absolut Peradilan
Agama di pulau Sumatera belum tentu menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama
di pulau Jawa, seperti mengenai warisan.
B. Kompetensi (Kekuasaan atau Wewenang)
Absolut Peradilan Agama
Kekuasaan mutlak Pengadilan berkenaan dengan jenis perkara atau
jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaanya dengan jenis
perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, sebagai
contoh:
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan
Umum. Pengadilan Agama lah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam
tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara ke Pengadilan Tinggi Agama
atau di Mahkamah Agung.
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah sebagai berikut.
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
h. Shadaqah dan
i. Ekonomi syari’ah.
a. Bidang Perkawinan
Salah satu yang tercangkup di dalam kekuasaan mutlak pengadilan
dalam lingkunag Peradilan Agama adalah bidang perkawinan. Dalam bidang
perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang no
1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut
syari’ah, antara lain:
1. Izin beristri lebih dari seorang.
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang
belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau
keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.
3. Dispensasi kawin.
4. Pencegahan perkawinan.
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat
Nikah.
6. Pembatalan perkawinan.
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau
istri.
8. Perceraian karena talak.
9. Gugatan perceraian.
10. Penyelesian harta bersama.
11. Penguasaan anak-anak.
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan
bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya.
13. Penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami
kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri.
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
16. Pencabutan kekuasaan wali.
17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam
hal kekuasaan seorang wali dicabut.
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal
tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya.
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang
telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya.
20. Penetapan asal usul seorang anak.
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran.
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan
kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
23. Penetapan wali adlal.
24. Penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.
b. Bidang Kewarisan, Wasiat dan
Hibah.
Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di bidang
kewarisan mencangkup empat hal, yaitu: 1. Penentuan siapa-siapa yang menjadi
ahli waris, 2. Penentuan mengenai harta peninggalan (tirkah), 3. Penentuan
bagian masing-masing ahli waris dari harta peninggalan itu, dan 4. Melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut.
Sebagaimana Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Huruf (b)
“Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi
ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli
waris.”
Huruf (c)
“Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum,
yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.”
Huruf (d)
“Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain
atau badan hukum untuk dimiliki.”
c. Bidang Wakaf, Zakat, Infaq,
Shadaqah dan Ekonomi Syariah
Wakaf yaitu perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagiab harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari'ah.
Zakat yaitu harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim
atau badan hukum yang dimilki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan
syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Infaq yaitu perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang
lain guna memenuhi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan,
memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuaitu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah SWT.
Shadaqah yaitu perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang
lain atau lembaga/ badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh
waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata
Ekonomi Syari'ah yaitu perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, meliputi:
a. Bank Syari'ah
b. Lembaga Keuangan Mikro Syari'ah
c. Asuransi
d. Reasuransi
e. Reksa Dana Obligasi Syari'ah dan Surat Berharga Berjangka
Menengah Syari'ah
f. Sekuritas Syari'ah
g. Pembiayaan Syari'ah
h. Pegadaian Syari'ah
i. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari'ah dan
j. Bisnis Syari'ah
Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar proses pemeriksaan
dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa:
1) Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama
yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi
syari’ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah.
2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak
mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk
menjamin putusan yang adil dan benar.
3.1. Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Perbankan
Syariah
Kewenangan lingkungan peradilan agama di bidang bank syariah, baru
sebatas bahwa bank syariah itu adalah merupakan salah satu bidang ekonomi
syariah yang termasuk dalam kewenangan absolut lingkungan peradilan agama.
3. 1. 1. Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Bank Syariah Meliputi
semua Perkara Perbankan Syariah di Bidang Perdata
Kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama di bidang bank
syariah adalah meliputi semua perkara perbankan syariah di bidang perdata,
sesuai dengan ketentuan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam...”, dan “
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan
syariah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya.”
Selanjutnya untuk mengetahui sampai di mana jangkauan kewenangan
lingkunganperadilan agama dalam mengadili sengketa di bidang perdata tersebut,
dapat di analisis dengan pendekatan asas personalitas keislaman yang merupakan
salah satu asas sentral yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2006 merupakan pedoman
umum dalam menentukan kewenangan peradilan agama. Asas personalitas keislaman
juga merupakan asas pemberlakuan hukum Islam terhadap orang (person) yang
beragama Islam. Asas ini menggariskan bahwa “terhadap orang Islam berlaku hukum
Islam, dan jika terjadi sengketa diselesaikan menurut hukum Islam oleh hakim
(pengadilan) Islam. Sehingga dapat ditegaskan bahwa setiap orang Islam baik
secara Subjektif maupun secara objektif berlaku hukum Islam. Maka dapat
disimpulkan bahwa terhadap semua perkara atau sengketa perbankan syariah di
bidang perdata merupakan kewenangan absolut lingkungan peradilan agama untuk
mengadilnya, secara tegas ditentukan lain oleh undang-undang.
3. 1. 2. Meliputi Sengketa Antara Bank Syariah dengan Pihak
Non-Islam
Jangkauan kewenangan lingkungan peradilan agama dalam bidang
perbankan syariah tidak hanya terbatas pada sengketa yang trjadi antara bank
syariah dengan pihak-pihak (person/badan hukum) yang beragama Islam saja,
melainkan juga meliputi sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan
pihak-pihak (person/badan hukum) yang beragama Non-Islam, sepanjang sengketa
tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha bank syariah yang dilaksanakansesuai
dengan prinsip syariah.
3. 1. 3. Tidak Menjangkau Klausula Arbitrase
Arbitrasi merupakan suatu badan swasta , di luar Badan Peradilan
Negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menyelesaikan perkara
atau sengketa yang terjadi antara anggota masyarakat atas dasar perjanjian atau
kesepakatan yang telah mereka buat sebelumnya dalam usaha suatu perjanjian
arbitrase (klausula arbitrase).
Berdasarkan aturan hukum yang berlaku kewenangan absolute seluruh
badan-badan peradilan Negara, termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama
tidak dapat menjangkau sengketa atau perkara yang timbul dari perjanjian yang
di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Dengan demikian, terhadap perkara atau
sengketa perbankan syariah yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase,
lingkungan peradilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya karena
kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau perkara atau
sengketa perbankan syariah yang timbul dari perjanjian yang terdapat klausula
arbitrase. Atas dasar itu terhadap sengketa atau perkara perbankan syariah yang
di dalamnya terdapat klausula arbitrase, namun tetap diajukan ke pengadilan
agama untuk diselesaikan, maka sikap yang tepat bagi hakim pengadilan agama
dalam hal ini adalah dengan menjatuhkan putusan negatif berupa pernyataan hukum
yang menyatakan bahwa pengadilan agama secara absolut tidak berwenang memeriksa
dan mengadili perkara tersebut.
3.1.4 Meliputi Putusan Arbitrase Syariah di Bidang Perbankan
Syariah
Sebagaimana
dikemukakan di atas bahwa apabila perkara perbankan syariah yang diajukan ke
pengadilan agama ternyata merupakan sengketa perjanjian yang di dalamnya
terdapat klausula arbitrase, maka pengadilan agama secara absolute tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Kewenangan untuk
menyelesaikan perkara semacam itu sepenuhnya termasuk yurisdiksi absolute badan
arbitrase yang telah ditentukan atau dipilih oleh para pihak sebelumnya dalam
perjanjian (akad).
Tidak demikian halnya dengan putusan Arbitrase Syariah Nasional (
BASYARNAS) di bidang perbankan syariah. Terhadap putusan arbitrase syariah
tersebut jika para pihak ternyata tidak melaksanakannya secara sukarela, maka
sesuai dengan ketentuan undang-undang, pengadilan agama yang berwenang untuk
memerintahkan pelaksanaan putusan tersebut. Dengan demikian putusan arbitrase
syariah tersebut akan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama
atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, sesuai dengan ketentuan
Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999, dan juga Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.
08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah.
Mengenai kewenangan lingkungan peradilan agama dalam melaksanakan
putusan arbitrase syariah tersebut hingga kini memang masih ada pihak yang
mempertanyakan. Bahkan dikalangan petinggi Mahkamah Agung sendiri sebelum
lahirnya SEMA No. 08 Tahun 2008 tersebut sempat terjadi silang pendapat tentang
pengadilan mana sesungguhnya yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan
arbitrase syariah tersebut, jika para pihak ternyata tidak mau melaksanakannya
secara sukarela. Di satu pihak ada yang berpendapat hal itu menjadi kewenangan
pengadilan agama karena sesuai dengan ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 pengadilan
agama berwenang menangani sengketa ekonomi syariah. Sementara di lain pihak ada
yang menyatakan hal itu tetap menjadi kewenangan pengadilan negeri, karena
pengadilan agama tidak berwenang menyelesaikan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999.
Demikian empat hal yang harus benar-benar dipahami berkaitan dengan
batas ruang lingkup dan jangkauan kewenangan mengadili lingkungan peradilan
agama di bidang perbankan syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman A, 2008, Bank Islam, Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Perwataatmadja, Karnaen, 1992, Apa Dan Bagaimana Bank
Syari’ah, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Susanto, Burhanuddin, 2008, Hukum Perbankan Syari’ah Di Indonesia,
Yogyakarta: UII Press.
Basir, Cik, 2009, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah-Di
Pengadilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, Jakarta: Kencana.
No comments:
Post a Comment