KATA PENGANTAR
بسم
الله الرحمن الرحيم
Segala
Puji Bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, shalawat dan salam kita
haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabat
beliau, serta pengikut beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah,
atas karunia dan rahmat yang diberikan kepada penulis, sehingga makalah ini
dapat disusun dan diselesaikan berdasarkan waktu yang telah diberikan. Makalah
ini berjudul “Konsep Pengembangan Pasar Uang Syariah”.
Penulis menyadari
bahwa terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis
berharap pembaca bisa memberikan kritik dan saran-saran yang membangun dan
memotivasi penulis untuk lebih baik lagi dalam membuat makalah.
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca maupun yang menulis. Amin yarabbal
a’lamiin.
Darussalam, 27
Oktober 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Penitipan
barang terjadi apabila seseorang menerima suatu barang dari orang lain dengan
syarat ia akan menyimpan dan mengembalikannya dalam wujud asalnya (1694
KUHPerdata).
B. Rumusan
Masalah
Masalah yang
akan kami bahas dalam makalah ini adalah tetang:
1. Apa
itu penitipan barang dalam ranah hukum perikatan?
2. Apa
jenis-jenis atau macam-macam penitipan barang yang dimaksud dalam hukum
perikatan?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “hukum perikatan” yang diberikan
oleh dosen pengasuh dan untuk mengetahui berbagai pengetahuan tentang
“penitipan barang” yang akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Penitipan
Barang
Penitipan
barang terjadi apabila orang menerima suatu barang dari orang lain, dengan
syarat/janji bahwa ia akan menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam
wujud asalnya. Demikianlah definisi yang oleh pasal 1694 B.W. diberikan tentang
perjanjian penitipan itu.
Menurut
kata-kata pasal tersebut, penitipan adalah suatu perjanjian “riil” yang berarti
bahwa ia baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu
diserahkannya barang yang dititipkan. Jadi tidak seperti perjanjian-perjanjian
lain pada umumnya yang lajimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan pada
saat tercapainya sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.
1.2 Jenis-jenis
atau macam-macam perikatan
Menurut
undang-undang ada dua macam penitipan barang, yaitu penitipan yang sejati dan
sekestrasi.
1.2.1 Penitipan
Barang yang Sejati
Penitipan
barang yang sejati dianggap dibuat dengan cuma-Cuma, jika tidak diperjanjikan
sebaliknya, sedangkan ia hanya dapat mengenai barang-barang yang bergerak
(pasal 1696).
Perjanjian
tersebut tidaklah telah terlaksana selainnya dengan penyerahan barangnya secara
sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan (pasal 1697). Ketentuan ini
menggambarkan lagi sifatnya riil dari perjanjian penitipan, yang berlainan dari
difat perjanjian-perjanjian lain pada umumnya yang adalah konsensual.
Penitipan
barang terjadi dengan sukarela atau karena terpaksa (pasal 1698)
a. Penitipa
Sukarela
Penitipan
barang dengan sukarela terjadi karena sepakat bertimbal balik antara pihak yang
menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan (pasal 1699). Penitipan
barang dengan sukarela hanyalah dapat terjadi antara orang-orang yang mempunyai
kecakapan untuk membuat perjanjian-perjanjian. Jika namun itu seorang yang
cakap untuk membuat perjanjian, menerima penitipan suatu barang seorang yang
tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka tunduklah ia kepada semua kewajiban
yang dipikul oleh seorang penerima titipan yang sungguh-sungguh (pasal 1701).
Yang
dimaksudkan oleh ketentuan tersebut adalah bahwa meskipun penitipan sebagai
suatu perjanjian secara sah hanya dapat diadakan antara orang-orang yang cakap
menurut hukum, namun apabila seorang yang cakap menerima suatu penitipan barang
dari seorang yang tidak cakap maka si penerima titipan harus melakukan semua
kewajiban yang berlaku dalam suatu perjanjian penitipan yang sah.
Dalam pasal
1702 mengatakan: jika penitipan dilakukan oleh seorang yang berhak kepada
seorang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka pihak yang menitipkan
hanyalah mempunyai hak terhadap pihak yang menerima titipan untuk menuntut
pengembalian barang yang dititipkan, selama barang ini masih ada pada pihak
yang terakhir itu atau jika barangnya sudah tidak lagi pada si penerima
titipan, maka dapatlah ia menuntut pemberian ganti rugi sekadar sipenerima
titipan itu telah memperoleh manfaat dari barang tersebut. Yang dimaksudkan
adalah, bahwa jika seorang yang cakap menurut hukum menitipkan barang kepada
seorang yang tidak cakap, maka ia memikul risiko kalau barang itu dihilngkan.
Hanyalah. Kalau sipenerima titipan itu ternyata telah memperoleh manfaat dari
barang yang telah dihilangkan, maka orang yang menitipkan dapat menuntut
pemberian ganti rugi. Si penerima titipan dapat dikatakan telah memperoleh
manfaat dari barang yang telah dihilangkan itu umpamanya kalau ia telah
menjualnya dan uang pendapatan penjualan telah dipakainya. Jadi kalau barangnya
hilang dicuri orang karena si penerima titipan tidak menyimpannya dengan baik,
tidak ada tuntutan ganti rugi. Dengan sendirinya tuntutan pemberian ganti rugi
ini harus dilakukan terhadap orangtua atau wali dari si penerima titipan.
b. Penitipan
Terpaksa
Yang dinamakan
penitipan karena terpaksa adalah (menurut pasal 1703) penitipan yang terpaksa
dilakukan oleh seorang karena timbulnya sesuatu malapetaka, misalnya:
kebakaran, runtuhnya gedung, perampokan, karamnya kapal, banjir dan lain-lain
peristiwa yang tak tersangka.
Penitipan
barang karena terpaksa ini diatur menurut ketentuan seperti yang berlaku
terhadap penitipan sukarela (pasal 1705). Maksudnya adalah bahwa suatu
penitipan yang dilakukan secara terpaksa itu mendapat perlindungan dari
undang-undang yang tidak kuran dari suatu penitipan yang terjadi secara
sukarela.
Di dalam pasal
1706 mewajibkan si penerima titipan, mengenai perawatan barang yang
dipercayakan kepadanya, memeliharanya dengan minat yang sama seperti ia
memelihara barang miliknya sendiri.
Ketentuan
tersebut menurut pasal 1707 harus dilakukan lebih keras dalam beberapa hal,
yaitu:
1. Jika
si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk menyimpan barangnya;
2. Jika
ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu untuk penyimpanan itu;
3. Jika
penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si penerima titipan;
dan
4. Jika
telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung segala macam
kelalaian.
Tidak
sekali-kali si penerima titipan bertanggung jawab tentang peristiwa-peristiwa
yang tak dapat disingkiri, kecuali apabila ia lalai dalam pengembalian barang
yang dititipkan. Bahkan dalam hal yang terakhir ini ia tidak bertanggung jawab
jika barangnya juga akan musnah seandainya telah berada ditangannya orang yang
menitipkan (pasal 1708). Peristiwa yang tak dapat disingkiri itu adalah yang
lajimnya dalam bahasa hukum dinamakan “keadaan memaksa” (bahasa Belanda:
“overmacht” atau “force majeur”) yaitu suatu kejadian yang tak disengaja dan
tak dapat diduga. Resiko kemusnahan barang karena suatu keadaan memaksa itu
memang pada asasnya harus dipikul oleh pemilik barang. Namun apabila si
penerima titipan itu telah lalai mengembalikan barangnya sebagaimana ditetapkan
dalam perjanjian, maka (juga menurut asas umum hukum perjanjian) ia mengoper
tanggung jawab tentang kemusnahan barangnya jika terjadi sesuatu. Tanggung
jawab ini hanya dapat dilepaskan jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya juga
akan musnah seandainya sudah diserahkan kepada orang yang menitipkan, misalnya
barang itu mengandung suatu cacat yang pasti juga akan menyebabkan
kemusnahannya biarpun ia berada ditangannya orang yang menitipkan.
Rumah
Penginapan dan Losmen
Pasal 1709
meletakkan tanggung jawab kepada pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen
terhadap barang-barang para tamu yaitu memperlakukan pengurus rumah penginapan
dan penguasa losmen tersebut sebagai orang yang menerima titipan barang.
Penitipan barang oleh para tamu itu dianggap sebagai suatu penitipan karena
terpaksa. Selanjutnya pasal 1710 menetapkan bahwa mereka itu bertanggung jawab
tentang pencurian atau kerusakan pada barang-barang kepunyaan para penginap,
baik pencurian itu dilakukan atau kerusakan itu diterbitkan oleh
pelayan-pelayan atau lain-lain pekerja dari rumah penginapan, maupun oleh
setiap orang lain. Namun (demikian pasal 1711 seterusnya) mereka tidak
bertanggung jawab tentang pencurian yang dilakukan oleh orang-orang yang telah
dimasukkan sendiri oleh si penginap.
Dalam praktek
para pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen itu membatasi tanggung jawab
mereka dengan menempelkan pengumuman bahwa mereka tidak bertanggung jawab
tentang hilangnya barang-barang yang berharga (uang, perhiasan) yang tidak
secara khusus dititipkan pada mereka. Melepaskan tanggung jawab seluruhnya
terhadap semua barang tentunya tidak dibolehkan.
Si penerima
titipan barang tidak diperbolehkan memakai barang yang dititipkan untuk
keperluan sendiri tanpa ijinnya orang yang menitipkan barang, yang dinyatakan
dengan tegas atau dipersangkakan, atas ancaman penggantian biaya, kerugian dan
bunga jika ada alasan untuk itu (pasal 1712). Selanjutnya ia tidak
diperbolehkan menyelidiki tentang wujudnya barang yang dititipkan jika barang
itu dipercayakan kepadanya dalam suatu kotak tertutup atau dalam suatu sampul
tersegel (pasal 1713).
Si penerima
titipan diwajibkan mengembalikan barang yang sama yang telah diterimanya.
Dengan demikian maka jumlah-jumlah uang harus dikembalikan dalam mata uang yang
sama seperti yang dititipkan, tak peduli apakah mata uang itu telah naik atau
telah turun nilainya (pasal 1714).
Si penerima
titipan hanya diwajibkan mengembalikan barang yang dititipkan dalam keadaannya
pada saat pengembalian itu. Kemunduran-kemunduran yang dialami barangnya diluar
kesalahan si penerima titipan, adalah atas tanggungan pihak yang menitipkan
(pasal 1715).
Jika barangnya
dengan paksaan dirampas dari tangannya si penerima titipan dan orang ini telah
menerima harganya atau sesuatu barang lain sebagai gantinya, maka ia harus
menyerahkan apa yang diterimanya sebagai ganti itu kepada orang yang menitipkan
barang (pasal 1716).
Seorang ahli
waris dari si penerima titipan, yang, karena ia tidak tahu bahwa suatu barang
adalah barang titipan, denga itikad baik telah menjual barang tersebut,
hanyalah diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang diterimanya, atau jika
ia belum menerima harga itu, menyerahkan hak tuntutannya terhadap si pembeli
barang (pasal 1717). Jika ia menjualnya barang itu dengan itikad buruk, maka
dengan sendirinya, selainnya ia harus mengembalikan uang pendapatan penjualan
itu, ia juga dapat dituntut membayar ganti rugi.
Jika barang
yang dititipkan itu telah memberikan hasil-hasil yang dipungut atau diterima
oleh si penerima titipan, maka ia diwajibkan mengembalikannya (pasal 1718 ayat
1).
Dalam hal yang
dititipkan itu uang, si penerima titipan tidak diharuskan membayar bunga,
selainnya sejak hari ia lalai mengembalikannya, setelah diperingatkan (pasal
1718 ayat 2). Ketentuan tersebut adalah wajar, karena menurut hakekat
perjanjian penitipan si penerima tidak boleh memakai uang yang dititipkan itu,
bahkan ia harus mengembalikannya dalam mata uang yang sama seperti yang
diterimanya (lihat pasal 1714). Tetapi kalau ia lalai mengembalikan uang
titipan itu setelah ia diperingatkan, orang yang menitipkan akan menderita
kerugian karena ia sudah mulai memerlukan uang itu, sehingga pembebanan
pembayaran bunga itu pantas pula. Dan bunga yang dibebankan ini tentunya adalah
yang dinamakan “bunga moratoir” sebesar enam persen setahun, terhitung mulai
pengembalian uang titipan itu dituntutnya dimuka pengadilan.
Deposito dengan
Bunga
Apa yang
dikenal sebagai “deposito” dengan bunga (meskipun “deposito” artinya penitipan),
bukan penitipan yang kita bicarakan disini, karena pihak yang menerima deposito
(uang) dibolehkan (dan malahan itulah yang dimaksudkan) untuk memakai uang yang
dititipkan dan menyanggupi untuk membayar bunga atas penitipan itu. Pada
hakekatnya perjanjian deposito uang itu adalah suatu perjanjian pinjam uang
dengan bunga.
Si penerima
titipan tidak diperbolehkan mengembalikan barangnya titipan selainnya kepada
orang yang menitipkannya kepadanya atau kepada orang yang atas namanya
penitipan itu telah dilakukan atau yang ditunjuk untuk menerima kembali
barangnya (pasal 1719).
Si penerima
titipan tidak boleh menuntut dari orang yang menitipkan barang, suatu bukti
bahwa orang itu pemilik barang tersebut.
Jika namun itu
ia mengetahui bahwa barang itu adalah barang curian, dan siapa pemiliknya
sebenarnya, maka haruslah ia memberi tahu kepada orang ini bahwa barangnya
dititipkan kepadanya, disertai peringatan supaya meminta kembali barang itu
didalam suatu waktu tertentu yang patut. Jika orang kepada siapa pemberitahuan
itu telah dilakukan, melalaikan untuk meminta kembali barangnya, maka si
penerima titipan dibebaskan secara sah jika ia menyerahkan barang itu kepada
orang dari siapa ia telah menerimanya (pasal 1720).
Apabila orang
yang menitipkan barang meninggal, maka barangnya hanya dapat dikembalikan
kepada ahli warisnya.
Jika ada lebih
dari seorang ahli waris, maka barangnya harus dikembalikan kepada mereka
kesemuanya atau kepada masing-masing untuk bagiannya.
Jika barang
yang dititipkan tidak dapat dibagi-bagi, maka para ahli waris harus mengadakan
mupakat tentang siapa yang diwajibkan mengopernya (pasal 1721).
Jika orang yang
menitipkan barang berubah kedudukannya misalnya seorang perempuan yang pada
waktu menitipkan barang tidak bersuami, kemuadian kawin; seorang dewasa yang
menitipkan barang ditaruh dibawah pengampuan; dalam hal ini dan dalam hal-hal
semacam itu, barang yang dititipkan tidak boleh dikembalikan selainnya kepada
orang yang melakukan pengurusan atas hak-hak dan harta-benda orang yang menitipkan
barang, kecuali apabila orang yang menerima titipan mempunyai alasan-alasan
yang sah untuk tidak mengetahui perubahan kedudukan tersebut (pasal 1722).
Tentang seorang perempuan tak bersuami yang kemudian kawin, sekarang tidak
merupakan halangan lagi bagi si penerima titipan; untuk tetap mengembalikan
barangnya titipan kepada perempuan itu, tanpa ijin tertulis atau bantuan dari
suaminya, sejak adanya yurisprudensi yang menyatakan pasal 108 B.W. sudah tidak
berlaku lagi.
Jika penitipan
barang telah dilakukan oleh seorang wali, seorang pengampu, seorang suami atau
seorang penguasa dan pengurusan mereka itu telah berakhir, maka barangnya hanya
dapat dikembalikan kepada orang yang diwakili oleh wali, pengampu, suami atau
penguasa tersebut (pasal 1723).
Pengembalian
barang yang dititipkan harus dilakukan ditempat yang ditunjuk dalam perjanjian.
Jika perjanjian tidak menunjuk tempat itu, barangnya harus dikembalikan
ditempat terjadinya penitipan. Adapun biaya yang harus dikeluarkan untuk itu
harus ditanggung oleh orang yang menitipkan barang (pasal 1724).
Barang yang
dititipkan harus dikembalikan kepada orang yang menitipkan, seketika apabila
dimintanya, sekalipun dalam perjanjiannya telah ditetapkan suatu waktu lain
untuk pengembaliannya, kecuali apabila telah dilakukan suatu penyitaan atas
barang-barang yang berada ditangannya si penerima titipan (pasal 1725). Dari
ketentuan ini dapat kita simpulkan bahwa apabila dalam perjanjian penitipan
ditetapkan lamanya waktu penitipan, maka penetapan waktu ini hanya mengikat si
penerima titipan tetapi tidak mengikat pihak yang menitipkan. Setiap waktu
barang titipan itu dapat diminta kembali. Satu-satunya hal yang dapat
menghalangi pengembalian barang adalah penyitaan yang telah diletakkan oleh
pihak ketiga atas barang tersebut. Ini dapat terjadi misalnya apabila telah
timbul suatu sengketa mengenai barang yang bersangkutan. Dalam hal yang
demikian maka jalan yang harus ditempuh oleh orang yang menitipkan barang
adalah mengajukan perlawanan (verzet) terhadap penyitaan tersebut kepada
Pengadilan Negeri.
Si penerima
titipan yang mempunyai alasan yang sah untuk membebaskan diri dari barang yang
dititipkan, meskipun belum tiba waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian, juga
berkuasa mengembalikan barangnya kepada orang yang menitipkan atau jika orang
ini menolaknya, meminta ijin hakim untuk menitipkan barangnya disuatu tempat
lain (pasal 1726). Untuk membebaskan diri dari barang titipan sebelum lewatnya
waktu yang ditetapkan, bagi si penerima titipan harus ada suatu alasan yang sah
dan apabila permintaannya untuk mengembalikan barangnya ditolak oleh orang yang
menitipkan, diperlukan ijin dari hakim untuk menitipkan barang itu ditempat
lain, misalnya dikantor Balai Harta Peninggalan atau di kepaniteraan Pengadilan
Negeri.
Segala kewajiban
si penerima titipan berhenti jika ia mengetahui dan dapat membuktikan bahwa dia
sendirilah pemilik barang yang dititipkan itu (pasal 1727). Dalam hal yang
demikian, maka perjanjian penitipan hapus dengan sendirinya, karena si penerima
titipan ternyata menguasai barang miliknya sendiri.
Orang yang
menitipkan barang diwajibkan mengganti kepada si penerima titipan segala biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang dititipkan, serta
mengganti kepadanya semua kerugian yang disebabkan karena penitipan itu (pasal
1728).
Berhubung
dengan ketentuan diatas, oleh pasal 1729 ditetapkan bahwa si penerima titipan
berhak menahan barangnya hingga segala apa yang harus dibayar kepadanya karena
penitipan tersebut dilunasi.
1.2.2 Sekestrasi
Sekestrasi
adalah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, ditangannya seorang
pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk, setelah perselisihan itu diputus,
mengembalikan barang itu kepada siapa yang dinyatakan berhak, beserta
hasil-hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan persetujuan dan ada pula
yang dilakukan atas perintah Hakim atau Pengadilan (pasal 1730).
a. Sekestrasi
dengan persetujuan
Sekestrasi
terjadi dengan persetujuan, apabila barang yang menjadi sengketa diserahkan
kepada seorang pihak ketiga oleh satu orang atau lebih secara sukarela (pasal
1731).
Sekestrasi
dapat mengenai baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak
(pasal 1734), jadi berlainan dari penitipan barang yang sejati, yang hanya
dapat mengenai barang yang bergerak saja (lihat pasal 1696).
Si penerima
titipan yang ditugaskan melakukan sekestrasi tidak dapat dibebaskan dari
tugasnya, sebelum persengketaan diselesaikan, kecuali apabila semua pihak yang
berkepentingan menyetujuinya atau apabila ada suatu alasan lain yang sah (pasal
1735).
b. Sekestrasi
atas perintah Hakim
Sekestrasi atas
perintah Hakim terjadi apabila Hakim memerintahkan supaya suatu barang tentang
mana ada sengketa, dititipkan kepada seorang (pasal 1736). Mengenai sekestrasi
macam ini ditetapkan seterusnya oleh pasal 1737 sebagai berikut:
Sekestrasi guna
keperluan Pengadilan diperintahkan kepada seorang yang disetujui oleh
pihak-pihak yang berkepentingan atau kepada seorang yang ditetapkan oleh Hakim
karena jabatan.
Dalam kedua-duanya
hal, orang kepada siapa barangnya telah dipercayakan, tunduk kepada segala
kewajiban yang terbit dalam halnya sekestrasi dengan persetujuan, dan selainnya
itu ia diwajibkan saban tahun, atas tuntutan Kejaksaan, memberikan suatu
perhitungan secara ringkas tentang pengurusannya kepada Pengadilan, dengan
memperlihatkan ataupun menunjukkan barang-barang yang dipercayakan kepadanya,
namunlah disetujuinya perhitungan itu tidak akan dapat diajukan terhadap para
pihak yang berkepentingan (pasal 1737).
Hakim dapat
memerintahkan sekestrasi:
1. Terhadap
barang-barang bergerak yang telah disita ditangannya seorang berutang
(debitor).
2. Terhadap
suatu barang bergerak maupun tak bergerak, tentang mana hak miliknya atau hak
penguasaannya menjadi persengketaan;
3. Terhadap
barang-barang yang ditawarkan oleh seorang berutang (debitor) untuk melunasi
utangnya (pasal 1738).
Penyitaan yang
disebutkan sub 1 diatas adalah penyitaan conservatoir yang telah dilakukan atas
permintaan seorang penggugat, sedangkan penawaran barang-barang oleh seorang
debitor kepada kreditornya untuk melunasi utangnya, sebagaimana disebutkan sub
3, dilakukan dalam hal kreditor itu menolak pembayaran yang akan dilakukan
debitornya, sehingga debitor ini terpaksa meminta bantuan seorang jurusita atau
notaris untuk menawarkan barang atau uang tersebut (secara resmi) kepada
kreditor tersebut. Apabila penawaran tersebut ditolak oleh kreditor, maka
barang atau uang tersebut dapat dititipkan dikepaniteraan pengadilan atau
kepada seorang yang ditunjuk oleh Hakim. Perbuatan ini akan disusul oleh suatu
gugatan dari debitor tersebut untuk menyatakan sah penitipan tersebut, dan
dengan disahkannya penitipan itu, maka si debitor dibebaskan dari utangnya.
Pengangkatan
seorang penyimpan barang dimuka Hakim, menerbitkan kewajiban-kewajiban yang
bertimbal balik antara si penyita dan si penyimpan.
Si penyimpan
diwajibkan memelihara barang-barang yang telah disita sebagai seorang bapak
rumah tangga yang baik.
Ia harus
menyerahkan barang-barang itu untuk dijual supaya dari pendapatan penjualan itu
dapat dilunasi piutang-piutang si penyita, atau menyerahkannya kepada pihak
terhadap siapa penyitaan telah dilakukan, jika penyitaan itu dicabut kembali.
Adalah menjadi
kewajiban si penyita untuk membayar kepada si penyimpan upahnya yang ditentukan
dalam undang-undang (pasal 1739). Memelihara barang sebagai seorang bapak rumah
yang baik diartikan sebagai memelihara sebaik-baiknya dengan minat seperti terhadap
barang miliknya sendiri. Apabila kreditor sudah dimenangkan perkaranya dengan
suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, maka penyitaan
conservatoir atas barang-barang si debitor otomatis berubah menjadi penyitaan
eksekutorial, yang berarti bahwa barang-barang sitaan itu harus dijual untuk
melunasi piutang kreditor. Sebaliknya apabila gugatan kreditor (si penyita)
ditolak, maka penyitaan itu akan dicabut oleh Hakim dan si penyimpan harus
menyerahkan barang itu kepada debitor.
BAB III
PENUTUP
1.3 Kesimpulan
Penitipan
barang terjadi apabila orang menerima suatu barang dari orang lain, dengan
syarat/janji bahwa ia akan menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam
wujud asalnya. Demikianlah definisi yang oleh pasal 1694 B.W. diberikan tentang
perjanjian penitipan itu.
Menurut
undang-undang ada dua macam penitipan barang, yaitu penitipan yang sejati dan
sekestrasi.
Penitipan
barang yang sejati dianggap dibuat dengan cuma-Cuma, jika tidak diperjanjikan
sebaliknya, sedangkan ia hanya dapat mengenai barang-barang yang bergerak
(pasal 1696). Penitipan barang terjadi dengan sukarela atau karena terpaksa
(pasal 1698)
Sekestrasi
adalah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, ditangannya seorang
pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk, setelah perselisihan itu diputus,
mengembalikan barang itu kepada siapa yang dinyatakan berhak, beserta
hasil-hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan persetujuan dan ada pula
yang dilakukan atas perintah Hakim atau Pengadilan (pasal 1730).
1.3.1 Saran-Saran
Dari penjelasan
di atas tentang penitipan barang, pasti tidak terlepas dari kesalahan penulisan
dan rangkaian kalimat serta penyusunannya. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh pembaca dan khususnya
dosen pembimbing mata kuliah hukum perikatan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kepada para pembaca (dosen pembimbing mata kuliah ini) &
mahasiswa/i dapat memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Daftar Pustaka
Prof. R.
Subekti S.H., Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995).
Wawan Muhwan
Hariri S.H., Hukum Perikatan, (Bandung: CV Pustaka Seti, 2011).
0 Komentar:
Post a Comment