BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejak
kedatangan islam pada abad ke-13 M. hingga saat ini, fenomena pemahaman
keislaman umat islam masih ditandai oleh keadaan amat variatif. Ada sejumlah
orang yang pengetahuannya tentang keislaman cukup luas dan mendalam, namun
tidak tekoordinasi dan tidak tersusun secara sistematik. Dan ada pula orang yang
penguasaannya terhadap salah satu bidang keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang
memahami disiplin ilmu keislaman lainnya.
Memahami islam
secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara
paling minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi
pemeluk agama yang mantap, dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk
agama lainnya. Adapun metode-metode yang digunakan untuk memahami islam ada dua
yaitu metode komparasi dan metode sintesis.
B. Rumusan
Masalah
Untuk
memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang akan di bahas adalah:
1. Metodologi
Mempelajari Islam
2. Model-Model
Penelitian Studi Islam
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan makalah
ini dibuat adalah untuk memenuhi tugas mandiri “Pengantar studi islam” yang
diberikan oleh dosen pengasuh dan untuk mengetahui berbagai pengetahuan tentang
“Metodologi Studi Islam” yang akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metodologi
Mempelajari Islam
Atas dasar
prinsip bahwa ajaran islam berlaku untuk semua umat manusia maka islam masa
kini, dalam sosok dasarnya, memiliki persamaan dengan islam masa Rasul Allah.
Dengan meminjam terminology filsafat, maka dapat ditemukan persamaan esensi,
meskipun dengan perbedaan tampilan empiris, karena perbedaan ruang waktu
pelaksanaan dan berbagai konsekuensi praktisnya. Islam masa kini bermaksud
mengulangi islam masa lalu, untuk menemukan cara yan mampu mengantar mereka
agar sampai pada tujuan tersebut dapat dipenuhi oleh ilmu.[1]
Ada sejumlah
orang yang pengetahuannya tentang keislaman cukup luas dan mendalam, namun
tidak terkoordinasi dan tidak tersusun secara sistematik. Hal ini disebabkan
karena orang tersebut ketika menerima ajaran islam tidak sistematik dan tidak
terorganisasikan secara baik. Selanjutnya ada pula orang yang penguasaannya
terhadap salah satu bidang keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami
disiplin ilmu keislaman lainnya, bahkan pengetahuan yang bukan merupakan
keahliannya itu dianggap sebagai ilmu yang kelasnya berada di bawah kelas ilmu
yang dipelajarinya. Hingga saat ini pemahaman islam yang terjadi di masyarakat
masih bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif.
Memahami islam
secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara
paling minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi
pemeluk agama yang mantap, dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk
agama lainnya. Untuk menghindari kesalahpahaman yang mana memungkinkan
timbulnya pandangan dan sikap negatif terhadap islam, maka untuk memahami islam
secara benar ialah dengan cara-cara sebagai berikut.
Pertama, islam
harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Kekeliruan memahami islam karena orang hanya mengenalnya dari sebagian
ulama-ulama dan pemeluk-pemeluknya yang telah jauh dari pimpinan Qur’an dan
Sunnah. Kedua, islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara
parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang
bulat tidak secara sebagian saja. Apabila islam dipelajari secara sebagian saja
dari ajarannya, apalagi yang bukan pokok ajaran, dan dalam bidang-bidang
masalah khilafiyah, maka tentulah pengetahuannya tentang islam seperti yang
dipelajarinya, yaitu bagian kecil dari masalah dalam islam dan yang bukan pokok. Ketiga, islam
perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum
zu’ama dan sarjana-sarjana islam. Pada umumnya mereka memahami islam secara
baik, pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah dengan pengalaman yang indah dari praktek ibadah yang
dilakukan setiap hari.[2] Keempat,
islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam
Al-Qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan
sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan demikian dapat diketahui tingkat
kesesuaian atau kesenjangan antara islam yang berada pada dataran normative
teologis yang ada dalam Al-Qur’an dengan islam yang ada pada dataran historis,
sosiologis, dan empiris.
Ali Syar’ati
mengatakan, salah satu cara memahami atau mempelajari islam adalah dengan
mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara
lainnya ialah dengan mempelajari kitab Al-Qur’an dan membandingkannya dengan
kitab-kitab samawi atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi) lainnya. Ada
lagi cara lain, yaitu dengan mempelajari kepribadian Rasul islam dan
membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaruan yang pernah hidup dalam
sejarah. Dan cara terakhir adalah dengan mempelajari tokoh-tokoh islam
terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun
aliran-aliran pemikiran lain.[3]
Metode lain
untuk memahami islam yang diajukan Mukti Ali adalah metode tipologi. Dalam hal
agama islam, juga agama-agama lain, kita dapat mengidentifikasi lima aspek atau
ciri dari agama itu, lalu dibandingkan dengan aspek dan ciri yang sama dari
agama lain, yaitu aspek ketuhanan, aspek kenabian, aspek kitab suci, dan aspek
keadaan sewaktu munculnya nabi dan orang-orang yang didakwahinya serta
individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu. Selanjutnya, untuk
memahami islam dapat dilakukan dengan memahami kitab sucinya.
Metode yang
digunakan untuk memahami atau mempelajari islam secara garis besar ada dua.
Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan
seluruh aspek yang ada dalam agama islamdengan agama lainnya. Dengan cara
demikian akan dihasilkan pemahaman islam yang objektif dan
utuh. Kedua, metode sintesis, yaitu suatu cara mmemahami islam yang
memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, objektif,
kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normatif.
Sebagai pangkal
tolak mengenal islam hendaklah jangan dipelajari lewat literatur para
orientalis. Kaum orientalis pada umumnya bukan muslim. Mereka memandang islam
menurut pola pemikiran kaum islamfobi. Penulisan mereka pada umumnya mengenai
islam bukan dengan tujuan suci, tetapi dengan dasar hasad dan dengki sehingga
banyak prinsip islam yang sengaja dikaburkan.[4]
Dalam penulisan
kaum orientalis terhadap islam, sadar atau tidak dengki dari akidah nasraninya
dan sentimen ras Baratnya selalu timbul juga. Secara halus atau kasar
prinsip-prinsip islam diselewengkan dan islam dihantam secara licik, sehingga
bagi orang-orang yang belum mendalam ilmunya tentang islam, secara tidak sadar
terpengaruh ketika membaca keterangan dalam tulisan-tulisan tersebut.
B. Model-Model
Penelitian Studi Islam
1. Model
Penelitian Tafsir
Tafsir berasal
dari bahasa Arab (Fassara, Yufassiru, Tafsiran) yang artinya penjelas,
pemahaman, dan perincian. Tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin,
yaitu penjelasan dan keterangan. Menurut Al-jurjani, tafsir adalah menjelaskan
makna ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya
maupun sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang
dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.
Tiga ciri utama
tafsir. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya adalah Al-Qur’an yang
didalamnya terkandung firman Allah yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad melalui malaikat jibril. Kedua, dilihat dari segi tujuannya adalah
untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan Al-Qur’an sehingga dapat
dijumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung di dalamnya.
Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran,
kajian, dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan
kemampuan yang dmilikinya, sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Secara singkat
dapat diambil pengertian bahwa model penelitian tafsir adalah suatu contoh,
ragam, acuan atau macam dari penyelidikan secara saksama terhadap penafsiran
Al-Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti
tentang hal yang terkait dengannya.
Dalam kajian
kepustakaan dijumpai berbagai hasil penelitian para pakar Al-Qur’an,
masing-masing peneliti telah mengembangkan model-model penelitian tafsir
lengkap dengan hasil-hasilnya. Diantaranya adalah model Quraish Shihab. Model
penelitian tafsir yang dikembangkannya lebih bersifat eksploratif, deskriptif,
analitis, dan perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali
sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafisr terdahulu
berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang
ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lainnya.
Metode
penafsiran Al-Qur’an secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu corak
ma’tsur(riwayat) dan corak penalaran. Metode tafsir yang bertitik tolak
penalaran dibagi menjadi empat yaitu metode tahlily, metode ijmaly, metode
muqarin, dan metode maudlu’iy.
2. Model
Penelitian Hadits
Hadits berasal
dari kata bahasa arab yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadatsan, haditsan
dengan pengertian yang bermacam-macam. Menurut istilah hadits adalah sesuatu
yang datang atau sesuatu yang bersumber dari Nabi atau disandarkan kepada Nabi.
Dapat dikatakan pula bahwa hadits merupakan berita yang datang dari Nabi saw
dalam segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan, maupun sikap atau
ketetapan beliau sejak sebelum menjadi Nabi hingga menjadi Nabi.
Sebagaimana
Al-Qur’an, Hadits pun banyak diteliti oleh para ahli, bahkan penelitian hadits
lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap Al-Qur’an. Model
H.M.Quraish Shihab terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak
jika dibandingkan dengan penelitian terhadap tafsir. Hasil penelitian Quraish
Shihab tentang fungsi hadits terhadap Al-qur’an menyatakan bahwa Al-Qur’an
menekankan bahwa Rasul saw berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah.
Adapun fungsi kedua dari Al-Sunnah adalah memperjelas, merinci, bahkan
membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Model
Penelitian Fiqih(Hukum)
Fiqih secara
terminologi dapat dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu:
“ilmu tentang
hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui
dalil-dalilnya yang terperinci”.
Sementara ulama
lain mengemukakan bahwa fiqih adalah:
“himpunan hukum
syara’ tentang perbuatan manusia(amaliah) yang diambil dari dalil-dalilnya yang
terperinci”.[5]
Fiqih atau
hukum islam merupakan salah satu bidang studi islam yang paling dikenal oleh
masyarakat. Fiqih termasuk ilmu yang pertama kali diajarkan kepada anak-anak
dari sejak bangku taman kanak-kanak sampai dengan ia kuliah di perguruan
tinggi. Ahmad Zaki Yamani memberikan ciri syariat islam identik dengan ciri
hukum islam.
Ciri yang
menurut zaki yamani ada dua. Pertama, bahwa syariat islam itu luwes, dapat
berkembang untuk menanggulangi semua persoalan yang berkembang dan berubah
terus. Kedua, bahwa dalam pusaka perbendaharaan hukum islam terdapat
dasar-dasar yang mantap untuk pemecahan-pemecahan yang dapat dilaksanakan
secara tepat, dan cermat.
Model-model
penelitian hukum islam yang dilakukan oleh Harun Nasution. Harun Nasution telah
berhasil mendeskripsikan struktur hukum islam secara komprehensif, yaitu mulai
dari kajian terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam Al-Qur’an, latar belakang
dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam dari sejak zaman nabi
sampai dengan sekarang, lengkap dengan beberapa mazhab yang ada di dalamnya
berikut sumber hukum yang digunakannya serta latar belakang timbulnya perbedaan
pendapat.
Model Noel
J.Coulson, hasil penelitiannya dituangkan dalam tiga bagian. Bagian pertama
menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at, yang dalamnya dibahas tentang
legalisasi Al-Qur’an. Bagian kedua, berbicara tentang pemikrian dan praktek
hukum islam di abad pertengahan. Di dalamnya dibahas tentang teori hukum
klasik, antara kesatuan dan keragaman, dampak aliran dalam sistem hukum,
pemerintahan islam dan hukum syariat, masyarakat islam dan hukum syariat.
Bagian ketiga, berbicara tentang hukum islam di masa modern yang di dalamnya
dibahas tentang penyerapan hukum eropa, hukum syariat kontemporer, taklid dan
pembaharuan hukum serta neo ijtihad.
Model Muhammad
Atho Mudzhar, mengemukakan tentang latar belakang dan karakteristik islam di
Indonesia serta pengaruhnya terhadap corak hukum islam. Mengemukakan tentang
Majelis Ulama Indonesia dari segi latar belakang didirikannya, sosio politik
yang mengitarinya, hubungan majelis ulama dengan pemerintahan dan organisasi
islam, serta organisasi non-islam lainnya dan berbagai fatwa yang dikeluarkan
nya. Penelitian dalam disertasi mengemukakan tentang isi produk fatwa yang
dikeluarkan MUI serta metode yang digunakannya. Fatwa-fatwa tersebut antara
lain meliputi bidang ibadah ritual, masalah keluarga, dan perkawinan,
kebudayaan, makanan, perayaan hari-hari besar agama nasrani, masalah
kedokteran, keluarga berencana, dan aliran minoritas dalam islam.
Penelitian
tersebut bermanfaat dalam upaya membuka pikiran dan pandangan para ulama fiqih
di Indonesia yang cenderung kurang berani mengeluarkan fatwa, atau kurang
produktif dalam menjawab berbagai masalah actual yang muncul di masyrakat
sebagai akibat dari kekurang pahaman dalam memahami situasi yang berkembang dan
bagaimana memanfaatkan situasi tersebut dalam rangka melahirkan produk hukum.
Dengan demikian, hukum islam baik langsung maupun tidak langsung masuk kedalam
katagori ilmu sosial. Hal ini sama sekali tidak mengganggu kesucian dan
kesakralan Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum islam tersebut.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Memahami islam
secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Disamping untuk
menghindari kesalahpahaman yang mana memungkinkan timbulnya pandangan dan sikap
negatif terhadap islam, maka untuk memahami islam secara benar ialah dengan
cara-cara sebagai berikut:
Pertama, islam
harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Kedua, islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial.
Ketiga, islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama
besar, kaum zu’ama dan sarjana-sarjana islam. Keempat, islam hendaknya
dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Al-Qur’an, baru
kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang
ada di masyarakat.
Sebagai pangkal
tolak mengenal islam hendaklah jangan dipelajari lewat literatur para
orientalis. Kaum orientalis pada umumnya bukan muslim. Mereka memandang islam
menurut pola pemikiran kaum islamfobi. Penulisan mereka pada umumnya mengenai
islam bukan dengan tujuan suci, tetapi dengan dasar hasad dan dengki sehingga
banyak prinsip islam yang sengaja dikaburkan.
B. Saran
Dari beberapa
penjelasan di atas tentang penulisan Metode Mempelajari Islam pasti tidak
terlepas dari kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat dan penyusunan makalah
ini menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang
diharapkan oleh para pembaca dan khususnya pembimbing mata kuliah Pengantar
Studi Islam. Oleh karena itu, penulis mengaharap kepada parambaca dan dosen pembimbing
mata kuliah ini dapat memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
A.Kadir,
H.Muslim. Ilmu Islam Terapan, Yogyakrta : Pustaka Setia, 2003.
Abudin Nata.
Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2006.
Mahyuddin,
Saifulah. Tentang Sosiologi Islam, Yogyakarta : Ananda, 1982.
Razak,
Nasruddin. Dienul islam, Bandung : PT.Alma’arif, 1973.
Syafe’I,
Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 2007.
0 Komentar:
Post a Comment