PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
MUHKAM DAN MUTASYABIH
Muhkam
berasal dari kata ihkam yang secara bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan,
keseksamaan, dan pencegahan. Pengertian ini pada dasarnya kembali pada makna
pencegahan.[1] Ahkam
Al-Amr berarti Ia menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari
kerusakan; Ahkam Al-Faras berarti ia membuat kekang pada mulut kuda
untuk mencegahnya dari goncangan.[2]
Mutasyabih berasal
dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan
yang biasanya membawa kepada kesamaran antara 2 hal. Tasyabaha danisytabaha berarti
2 hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya.
Dalam Al-Qur’an
terdapat ayat-ayat yang menggunakan kedua kata ini atau kata jadiannya.
Pertama, Firman
Allah :
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ
Artinya :
“sebuah kitab
yang di sempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya ”. (Q.S HUD: 1)
Kedua, firman
allah :
كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ
Artinya :
“...(yaitu)
Al-Qur’an yang serupa (mutasyabih)lagi berulng-ulang...’’.
Dimaksudkan
dengan muhkamnya al-quran adalah kesempurnaannya dan tidak adanya pertentangan
antara ayat-ayatnya. Maksud mutasyabih adalah menjelaskan segi kesamaan
ayat-ayat al-quran dalam kebenaran, kebaikan, dan kemukjizatannya.
Secara istilah,
para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi muhkamdan mutasyabih.
Al-Suyuti misalnya telah mengemukakan 18 definisi atau makna muhkam dan
mutasyabih yang di berikan para ulama. Al-Zarkani mengemukakan 11 definisi pula
yang sebagiannya di kutip dari Al-Suyuti. Diantara definisi yang di kemukakan
Al-Zarkani adalah sbb:
1) Muhkam ialah
ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan
nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya),
tidak di ketahui maknanya baik secara akli maupun naqli.
2) Muhkam ialah
ayat yang di ketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah
ayat yang hanya allah yang mengetahui maksudnya, baik secar nyata maupun
melalui takwil.
3) Muhkam ialah
ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna
takwil. Mutasyabih ialah ayat yang mengandung banyak
kemungkinan makna takwil.
4) Muhkam ialah
ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. mutasyabih ialah
ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan yang
lain di terangkan dengan ayat atau keterangan yang lain karena terjadinya
perbedaan dalam menakwilnya .
5) Muhkam ialah
ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna
yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna
seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya
indikasi atau melalui konteksnya .
6) Muhkam ialah
ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal. Mutasyabih ialah
lawannya.
7) Muhkam ialah
ayat yang tunjukan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih ialah
ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal , muawwal, dan
musykil.
Disamping
alasan yang dikemukakan Al-Zarkani tadi, dapat ditambahkan bahwa kata “kuat”
yang diterjemahkan dari kata rajihah dalam definisi muhkam dan kata “tidak
kuat” yang diterjemahkan dari kata “ghair rajihah” dalam definisi
mutasyabih, sangat tepat penggunaannya dalam definisi yang di
kemukakan al-razi .[3]
Dari uraian
diatas, dapat di ketahui 2 hal penting. Pertama, dalam membicaraan muhkam tidak
ada kesulitan . muhkam adalah ayat yang jelas atau rajih maknanya. kedua,
pembicaraan tentang mutasyabih menimbulkan masalah yang perlu di bahas lebih
lanjut.
B. SEBAB-SEBAB
TERJADINYA TASYABUH DALAM AL-QUR’AN
Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa sebab tasyabuh atau mutasyabih adalah
ketersembunyian maksud bahwa ketersembunyian itu bisa kembali kepada lafal atau
kepada lafal dan makna sekaligus.
Menurut
Al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi kepada tiga macam.
1) Ayat-ayat
yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan
tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifatnya, pengetakas ,huan tentang waktu
kiamat dan hal-hal gaibnya.
2) Ayat-ayat
yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian,
seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat
ringkasan, panjang, urutan, dan segala umpanya.
3) Ayat-ayat
mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama dan bukan semua
ulama. Maksudnya adalah makna-makna yang tinggi yang memahami hati orang-orang
yang jernih jiwanya dan mujtahid.
C. PANDANGAN
DAN SIKAP ULAMA MENGHADAPI AYAT-AYAT MUTASYABIH
Telah
dikemukakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu berbagai macam sebab dan
bentuknya. Dalam bagian ini , pembhasan khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat
yang menyangkut sipat-sifat tuhan yang dalam istilah as-suyuti ‘’ayat
al-shyifat ‘’ dan dalam istilah shubhi al-salih ‘’mutasyabih al-syifat’’[4]. Ayat
–ayat yang termasuk dalam katagori ini banyak . Salah satunya
adalah adalah :
الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى َ
Artinya: ‘’(yaitu
tuhan maha pemurah yang bersemayam diatas Arsy ‘’.(Q.S. Thaha:5)
Dalam ayat
tersebut sulit dipahami maksud yang sebenarnya. Karena itu pula ayat tersebut
di namakan’’ mutasyabih al-shyfat ‘’. Selanjutnya, dipertanyakan
apakah maksud ayat ini dapat diketahui manusia atau tidak ?
Untuk menjawab
pertanyaan ini shubhi al-shalih membedakan pendapat ulama kepada 2 mazhab.
1) Mazhab
salaf , yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu
dan menyerahkan hakekatnya kepda allah sendiri .mereka mensucikan allah dari
pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi allah dan mengimaninya
sebagai mana yang diterangkan al-quran serta menyerahkan urusan mengetahui
hakekatnya kepada allah sendiri.
2) Mazhab
khalaf , yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada
makna yang baik dengan zat allah karena itu mereka di sebut pula uawwmaliah
atau mazhab takwil .mereka memaknakan’’istiwa’’ dengan
ketinggian yang abstrak berupa pengendalian allah terhadap alam ini tanpa
merasa kepayahan.
Disamping kedua
mazhab tersebut masih ada pendapat ketiga yang dikemukakan oleh az-suyuti bahwa ibnu
Daqiq Al-id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua nazhab di atas.
Ibnu daqiq al-id berpendapat bahwa jika takwil itu dekat dengan bahasa arab
maka tidak dipungkiri dan jika takwil itu jauh maka tawaqquf (tidak
memutuskannya).[5]
DAFTAR PUSTAKA
Syadali,
Ahmad, Ulumul Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Abdul Wahid,
Ramli, Ulumul Quran, Rajawali, Jakarta, 1994.
Sayyid
Qutub, Fi Dzilalil Quran, libanon, 1971.
No comments:
Post a Comment